Jumat, 16 Desember 2016

Sebuah Ayat Al-Qur'an Yang Melarang Mengikuti Hari Raya Non Muslim

oleh : Abu Afnan غفر الله له ولوالديه

Kemuliaan seorang muslim terdapat pada agamanya karena dengan agamanyalah dia telah melepaskan dirinya dari jeratan kehinaan dan belenggu kegelapan yang menimpa semua umat manusia yang belum sempat mendapatkan cahaya islam.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“ Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan.”(Surat Al An’am :122)

Ya hanya dengan islam inilah manusia menjadi makhluk termulia, tanpa islam maka manusia layaknya hanyalah seorang mayat yang berjalan di atas muka bumi.

Sehingga bisa dikatakan bahwa sesuatu yang paling mahal di dalam diri seorang muslim adalah Aqidah islamnya. Aqidah islam inilah perhiasan yang paling berharga baginya.

Olehnya dia harus senantiasa memelihara perhiasan tersebut agar tidak sampai terkotori oleh perbuatan-perbuatan yang bisa menurunkan  "nilai jualnya" disisi Allah Subhanahu wa Ta’ala apalagi sampai hilang sama sekali wal ‘iyazu billah .

Fenomena lata dan ikut-ikutan merayakan atau turut memeriahkan hari raya agama lain merupakan salah satu diantara sekian banyak ancaman yang mengintai dan melanda kaum muslimin.

Bagaimana tidak , fenomena tersebut bisa merenggut seketika perhiasan yang sangat berharga bagi kaum muslimin yaitu aqidah mereka. 

Jauh sebelumnya sekitar 14 abad lalu nabi kita yang mulia Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam  telah menperingatkan ummatnya agar tidak lata dengan ajaran agama lain .

Dari Abu Said Al Khudri radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :”Sungguh-sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal & sehasta demi sehasta, sampai seandainya mereka masuk ke lubang biawak, niscaya kalian akan masuk pula ke dalamnya.

Kami tanyakan: “Wahai Rasulullah, apakah mereka yg dimaksud itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau berkata: “Siapa lagi kalau bukan mereka?” (HR. Bukhori, Kitab Al I’tishom bilkitabi wassunnah, No.7320)

Berkata Ibnu Batthol : "Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan bahwa ummatnya sebelum hari kiamat akan mengikuti perkara-perkara yang baru dan perbuatan bid’ah dan mengikuti hawa nafsu sebagaimana ummat-ummat seperti Persia dan Romawi yang membuat agama kebanyakan orang berubah.” (Kitab Syarah Shohih Al Bukhori karya Ibnu Batthol, jilid 10Hal.366).

Pemandangan yang biasa kita lihat dijalan-jalan ataupun di supermarket atau ditempat lainnya yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin seperti terompet, pohon natal, pakaian santa, topi kerucut, tukar coklat dan yang lainnya...tidak bisa diragukan lagi, merupakan bentuk lata terhadap ajaran agama lain dan yang lebih parah lagi adalah ikutnya sebagian kaum muslimin dalam acara perayaan-perayaan agama lain.

dan persoalan yang terakhir ini yang akan kami bahas dalam tulisan ini berdasarkan sebuah dalil dari al qur’an –biidznillah- melihat bahayanya persoalan tersebut dan masih banyaknya kaum muslimin yang terjatuh di dalamnya .

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :”Barang siapa yang menyerupai suatu kaum maka dia telah menjadi bagian dari mereka”.(HR.Abu Daud,Kitabullibas,Hal.721,No.4031,Syekh Al Albani mengatakan Hadits Hasan Shohin).

Berkata Ibnu Taimiyah dalam Karya beliau Iqtidho as Shirotil mustaqim  : “ dan Hadits ini paling minimal kondisinya : ia menunjukkan keharaman menyerupai mereka(yaitu orang kafir,) walaupun  dhohirnya menunjukkan akan kekafiran orang yang menyerupai mereka, dan ini seperti firman Allah : “dan barang siapa yang menjadikan mereka pemimpin maka sesungguhnya mereka telah bagian dari mereka”.

Lebih lanjut beliau mengatakan : “ dan bisa juga kita artikan hadits ini dengan menyerupai mereka secara muthlak(menyeluruh) maka yang ini mengharuskan kekafiran orang tersebut, dan semua unsur-unsur penyerupaan tersebut hukumnya haram, dan bisa juga dimaknai bahwa mereka akan menjadi bagian dari mereka dalam hal-hal yang diserupai  kalau hal itu perbuatan kafir maka orang ini pun kafir, kalo itu maksiat atau simbol mereka maka dia mengikuti hukum hal-hal tersebut.”

Sebuah ayat yang mulia patut kita renungkan bersama :

Firman Allah subhanahu wa ta’ala : “ Dan orang-orang yang tidak menghadiri persaksian palsu”.(al Furqon:72)

Ayat ini merupakan bentuk pujian kepada orang beriman yang digelari oleh Allah subhanahu wata’ala sebagai ‘Ibadurrahman dengan menyebutkan beberapa karakteristik mereka dan diantaranya adalah ayat ini.

Kalau kita merujuk keterjemahan mushaf-mushaf Indonesia maka kita akan dapatkan ; “ dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu”. dan tidak bisa dipungkiri bahwa itu memang salah satu tafsiran sebagian ulama seperti Ali bin Abi Tholhah dan Muhammad bin ‘Ali (lihat Tafsir al Jami’ li Ahkamil Qur’an, karya Al Qurtubi,jilid 15, Hal.485).

Namun pendapat yang dirojihkan oleh Imam Ahli Tafsir Ibnu Katsir adalah pendapat yang pertama yaitu pendapat yang mengatakan : “Dan orang-orang yang tidak menghadiri persaksian palsu”, (lihat tafsir Ibnu Katsir,Jilid 10,Hal 331)

dan ini pulalah pendapat yang dipilih oleh guru beliau Ibnu Taimiyah.

Beliau berkata : “Dan sebagian ulama mengatakan bahwa maksud dari syahadatuzzur adalah persaksian dusta,

dan ini kurang tepat karena Allah ta’ala berfirman :
(((لا يشهدون الزور)
"tidak menghadiri kedustaan" dan tidak mengatakan  ((لا يشهدون بالزور)) tidak menyampaikan persaksian dusta – dengan memakai huruf jar- .

dan ketika berkata : شهدت كذا
artinya : saya telah meghadiri, seperti perkataan Ibnu Abbas :

((شهدت العيد مع رسول الله صلى الله عليه وسلم وعلى آله وسلم ))
 
“ saya telah menghadiri hari raya (i’ed) bersama rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam”

dan perkataan Umar :
((الغنيمة لمن شهد الوقعة ))
“ ghonimah (harta rampasan) bagi orang yang menghadiri perang) dan konteks seperti ini banyak digunakan dalam bahasa Arab.

Adapun kata شهدت بكذا maka artinya saya telah mengabarkan sesuatu  (lihat kitab Iqtidho as Shirotil Mustaqim karya Ibnu Taimiyah, Jilid1, hal.428).

Nah pertanyaannya apa maksud dari ‘persaksian palsu’ yang dilarang untuk dihadiri?

Beberapa ulama tabi’in seperti Ibnu sirin, Mujahid, Ar Rabi’ bin Anas, Ad Dhohhak menafsirkan “persaksian palsu” di ayat tersebut dengan “hari raya orang-orang musyrik” sebagaimana disebutkan dalam tafsir Ibnu Katsir (lihat tafsir Ibnu Katsir,Jilid 10,Hal 331)

Adapun Ibnu 'Asyur beliau lebih memilih memaknai ‘persaksian palsu’ lebih umum,

beliau berkata  : “ ayat ini bisa bermakna : bahwasanya mereka tidak menghadiri acara-acara kebathilan yang dihadiri oleh kaum musyrikin seperti majelis-majelis kelalaian, nyanyian dan ghibah dan sebagainya, demikian pula hari raya kaum musyrikin dan permainan-permainan mereka.(lihat tafsir At Tahrir wat Tanwir karya Ibnu ‘Asyur,jilid 19,Hal.78).

Dan tentu tafsiran Ibnu ‘Asyur tidak bertentangn dengan tafsiran sebelumya karena telah tercakup didalamnya hari raya orang musyrik dan khilaf ini bisa dikategorikan kedalam ikhtilaf tanawwu’ ( perselisihan fariatif).

Pendapat yang serupa juga diutarakan oleh Ibnul ‘Arabi, beliau berkata : “ artinya mereka tidak menghadiri (acara) kedustaan dan kebathilan dan tidak pula menyaksikannya, dan arti kata ‘zuur’ : semua jenis kebathilan adalah zuur dan kata-kata yang dipoles(hingga menyelisihi kebenaran), dan yang paling besar adalah Syirik dan pengagungan sesembahan-sesembahan selain Allah, dan pendapat ini adalah pendapat Ad Dhohhak, Ibnu Zaid dan Ibnu Abbas.” (lihat Tafsir AL Jami’ Li Ahkamil Qur’an karya Imam Al Qurthubiy,jilid 15,Hal.484).

Berkata Ibnu Taimiyah : “ oleh karenanya terkadang ulama salaf menafsirkannya dengan sesuatu yang kelihatan baik dari dhohirnya disebabkan adanya syubhat atau syahwat padahal pada hakikatnya dia adalah sesuatu yang buruk. Maka syirik dan semisalnya akan kelihatan baik dari dhohirnya karena adanya syubhat, nyanyian juga akan kelihatan baik dari dhohirnya karena adanya syahwat.

Dan adapun hari raya orang-orang musyrik maka telah tergabung di dalamnya syubhat dan syahwat, syubhat karena dia adalah kebathilan karena tidak adanya manfaat untuk agama (seseorang) dan syahwat karena didalamnya terdapat kelezatan-kelezatan sesaat yang ujungnya adalah kesengsaraan, maka pantaslah hari raya tersebut disebut Zuur dan menghadirinya adalah bentuk persaksian terhadapnya. (lihat kitab Iqtidho as Shirotil Mustaqim karya Ibnu Taimiyah, Jilid1, hal.430)

Berdasarkan pemaparan di atas maka makna ayat didalam surat Al Furqan adalah dan orang-orang yang tidak mendatangi hari raya kaum musyrikin ataupun agama lain karena didalamnya terdapat kebathilan-kebathilan khususnya yang menyentuh masalah aqidah dan yang paling besar adalah adanya persaksian yang paling dusta yaitu persaksian akan adanya sesembahan selain Allah.

Wallahu a'lam

Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berita

Kajian

Koreksi

Kisah

Muslimah

Khazanah

Catatan Kecil

Opini

Dari Ummat

Dibolehkan menyebarkan konten website ini tanpa perlu izin dengan tetap menyertakan sumbernya. Tim al-Balagh Media