Pendahuluan
Syeikh Muhammad
ibn ‘Abd al-Wahhab (selanjutnya ditulis Muhammad ‘Abdul Wahab),
(1115-1206 H) adalah seorang mujaddid besar abad XII H yang luas
pengaruhnya di dunia Islam, terutama dalam pemurnian Tauhid. Jika
disebut namanya, orang akan segera ingat Kitab at-Tauhid (Judul
lengkapnya adalah Kitab at-Tauhid alladzi Huwa Haqqullah ‘ala al- ‘Abid,
tetapi popular dengan judul awalnya saja yaitu Kitab at-Tauhid) dan
perjuangannya membersihkan akidah umat Islam pada masa itu —terutama
wilayah Nejd Jazirah Arabia— dari segala macam bentuk kemusyrikan,
apalagi setelah beliau bekerja sama bahu membahu dengan Imam Muhammad
ibn Su’ud.
Selain Kitab
at-Tauhid, dalam bidang akidah beliau juga menulis buku-buku atau
risalah lain seperti Kasyf asy-Syubuhat, Mufid al-Mustqfidfi Kufr Tarik
at-Tauhid, al-Ushul ats-Tsalatsah wa Adillatuha, Kalimat fi Bayan
Syahadah an La Ilaha Illallah wa Bayan at-Tauhid, Kalimat fi Ma’rifah
Syahadah an Lailaha illallah wa anna Muhammadan Rasulullah, Arba’ Qawa
‘id liddin, Arba’ Qawa ‘id dzakarahallahu fi Muhkam Kitabih,
al-Masailal-Khamsal-Wajib Ma’rifatuha dan Tafsir Kalimah at-Tauhid
(Lihat Abdullah ash-Shalih al-’Utsaimin, asy-Syaikh Muhammad ibn Abd
al-Wahhab, Hayatuhu wa Fikruhu, Riyadh: Dar al-’Ulum, 1993, hlm. 73-84.)
Di samping
buku-buku dan risalah tentang akidah Islam, Syeikh Muhammad Abdul Wahab
juga memiliki banyak karya tulis dalam bidang Tafsir, Hadits, Fiqih, dan
Sirah Nabawiyah. Khusus dalam bidang Fiqih, beliau meringkas kitab Zad
al-Ma ‘adfi Huda Khair al- Jbad, karya Imam Ibn al-Qayyim al-Jauziyah,
kemudian diberinya judul Mukhtashar Zad al-Ma ‘ad. Beliau juga menulis
ringkasan dua kitab Fiqih terkenal dari mazhab Hanbali. Pertama, kitab
al-Inshaffi Ma ‘rifah ar-Rajih min al-Khilaf, karya al-Alamah al-Faqih
Ala ad-Din Ali ibn Sulaiman al-Mardawi al-Hanbali (817-885 H). Kedua,
kitab asy-Syarh al-Kabir, karya Syams ad-Din Abu al-Faraj Abd ar-Rahman
ibn Abi Umar Ibn Qudamah al-Maqdasy (597-682 H). Kedua kitab ini adalah
syarah kitab al-Muqni’ karya Muwaffiq ad-Din Abdullah ibn Qudamah
al-Maqdasy (541-620 H). Ringkasan dua kitab fiqih Hanbali tersebut
beliau beri nama Mukhtashar al-Inshafwa asy-Syarh al-Kabir. Dari
keseluruhan karya beliau, kitab ringkasan inilah yang paling panjang.
(Lihat Abd al-Aziz Zaid ar-Rumy dkk, Muallqfah asy-Syaikh al-Imam
Muhammad ibn Abd al-Wahab (Riyadh: Jamiah al-Imam Muhammad ibn Su’ud
al-Islamiyah, 1398 H), jilid II, hlm 4. Kitab Muallqfah jilid II ini
hanya memuat kitab Mukhtashar al-Inshafwa asy-Syarh al-Kabir sebanyak
789 halaman.) Karya fiqih Muhammad Abdul Wahab lainnya adalah Majmu’
al-Hadits ‘ala Abwab al-Fiqih, Adab al-Masyyi ila ash-Shalah, Ibthal
Waqaf al-Jinf’wal-ltsmi, dan Ahham ash-Shalah.
Tulisan ini
khusus membahas tentang Manhaj Fiqih Syeikh Muhammad Abdul Wahhab,
tetapi sebelumnya diungkapkan secara ringkas perjalanan beliau menuntut
ilmu untuk mengetahui latar belakang keilmuan tokoh pembaru ini. Tulisan
ini lebih banyak bersifat deskriptif daripada analisis.
Rihlah Ilmiah Syeikh Muhammad Abdul Wahab
Syeikh Muhammad
Abdul Wahab dilahirkan di Uyainah, Nejd, Jazirah Arabia, tahun 1115
H/1703 M dari keluarga ulama. Bapaknya ‘Abd al-Wahab ibn Sulaiman (w
1153 H) adalah seorang yang punya pengalaman panjang dalam fiqih karena
pernah menjabat sebagai Qadhi ‘Uyainah dan Huraimala’ dalam waktu yang
lama. Kakeknya Sulaiman ibn ‘Ali termasuk salah seorang ulama terkenal
pada masanya, beliau menulis kitab yang terkenal tentang manasik haji
yang sering menjadi rujukan para pengikut mazhab Hanbali. Pamannya,
Ibrahim ibn Sulaiman, juga seorang ulama yang disegani pada masa itu.
(Mas’ud an-Nadwi, Muhammad ibn Abd al-Wahhab, Mushlih Mazhlum wa Muftara
‘alaih, Riyadh: Jami’ah al-Imam Muhammad ibn Su’ud al-Islamiyah, 1411,
hlm.31).
Muhammad Abdul
Wahab sejak kecil sudah menunjukkan kecerdasan dan kekuatan hafalan yang
luar biasa. Belum genap umur 10 tahun beliau sudah hafal Al-Qur’an.
Muhammad Abdul Wahab kecil belajar kitab-kitab fiqih Hanbali dari
bapaknya, dan juga banyak membaca kitab-kitab Hadits dan tafsir.
Kecerdasan dan bakatnya yang luar biasa itu membuat kagum bapaknya
sendiri. Sering dia meminta anaknya menjadi imam shalat walaupun masih
kecil. Beliau menikah pada waktu masih sangat muda, kemudian pergi
melaksanakan ibadah haji dan bermukim di Madinah Munawarah, kemudian
kembali ke Uyainah untuk meneruskan menuntut ilmu dari orangtuanya.
Sejak awal beliau sudah rajin menulis, hingga dalam satu kali duduk
dapat menulis dua puluh halaman. (Ibid, hlm. 31-32.)
Hidup di
tengah-tengah keluarga besar ulama, kondisi ekonomi yang mendukung,
ditambah kecerdasan dan kemauan pribadi yang kuat menyebabkan Muhammad
Abdul Wahab dapat secara tekun dan penuh mendalami ajaran Islam, baik
melalui orangtuanya sendiri maupun melalui ulama-ulama yang lain. Tidak
cukup hanya di Uyainah, beliau menuntut ilmu ke beberapa pusat ilmu
waktu itu. Mula-mula beliau pergi ke Bashrah, terus ke Disa’, kembali
lagi ke Bashrah, kemudian ke Madinah Munawarah, kemudian kembali ke
Nejd. Tatkala berada di Madinah, beliau banyak belajar dari beberapa
ulama di Masjid Nabawi, termasuk dua orang ulama yang banyak berpengaruh
kepada beliau —tidak banyak dari segi keilmuan tetapi juga dari segi
pembaruan atau ishlah— yaitu Abdullah ibn Saif dan Muhammad Hayah
as-Sanadi. Ibn Saif adalah seorang ahli fiqih Hanbali dan juga ahli
Hadits. Gurunya inilah, sebagai seorang pengagum Ibn Taimiyah, yang
mendorong Muhammad Abdul Wahab untuk mempelajari kitab-kitab ulama besar
tersebut. Sedangkan Muhammad Hayah as-Sanadi adalah seorang alim dalam
Hadits dan ulum al-Hadits. As-Sanadi banyak menulis buku tentang Hadits.
Semangat pembaruan dan tidak fanatik mazhab didapatkan juga oleh
Muhammad Abdul Wahab dari gurunya ini. (Abdullah ash-Shalih al-Utsaimin,
asy-Syaikh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab, Hayatuhu wa Fikruhu (Riyadh:
Bar al-’Ulum, 1993), hlm 29-32).
Waktu di
Bashrah, Syeikh Muhammad Abdul Wahab belajar fiqih, Hadits dan bahasa
Arab dari beberapa ulama, di antaranya dari Syeikh Muhammad al-Majmu’i.
Berbeda dengan Uyainah, Bashrah adalah kota besar dengan penduduk yang
heterogen pemahaman dan pengamalan agamanya. Banyak persoalan muncul,
apalagi di kota itu tinggal banyak orang-orang Syi’ah. Bashrah tidak
jauh dari tempat-tempat suci Syi’ah seperti Najaf dan Karbala. Sudah
bukan rahasia lagi antara Syi’ah dan Ahl As-Sunnah banyak terjadi
perbedaan. Tinggal di kota seperti itu, Muhammad Abdul Wahab tidak hanya
belajar, tapi mulai meluruskan dan menentang apa yang menurut beliau
bertentangan dengan kebenaran. Beliau sering berdiskusi dan berdebat
dengan para penentang dakwahnya, terutama dalam masalah akidah.
Sedangkan di Ihsa’ Syeikh Muhammad Abdul Wahab belajar dari beberapa
ulama seperti Abdullah ibn Fairuz, Abdullah ibn Abd al-Lathif, dan
Muhammad ibn ‘Afaliq dan banyak berdiskusi tentang masalah akidah,
terutama tauhid. Ihsa’ adalah kota terakhir tempat Muhammad Abdul Wahab
belajar di luar ‘Uyainah setelah Hijaz dan Bashrah sebelum kemudian
menetap kembali di ‘Uyainah. (Abdullah ash-Shalih al-’Utsaimin,
asy-Syaikh Muhammad ibn
‘Abd al-Wahhab, Hayatuhu wa Fikruhu (Riyadh: Dar al-’Ulum, 1993), hlm 34-36.)
Mazhab Fiqih Syeikh Muhammad Abdul Wahab
Syeikh Muhammad
Abdul Wahab, tidak diragukan lagi adalah seorang ulama pembaru yang
mengembalikan segala persoalan agama kepada dua sumber utamanya yaitu
Al-Qur’an dan As-Sunnah. Beliau ingin melihat Islam tampil dalam
bentuknya yang
asli, murni, tidak bercanipur dengan ajaran agama dan kepercayaan lain.
Seluruh persoalan, sedapat mungkin, dikembalikan kepada Al-Qur’an dan
As-Sunnah. Berangkat dari cara berpikir seperti itulah, sekalipun dalam
fiqih, beliau mengikuti mazhab Imam Ahmad ibn Hanbal (w 246 H) tetapi
beliau tidak ta’ashub atau fanatik terhadap mazhab Hanbaly. Dalam suatu
kesempatan beliau menyatakan: “Adapun mazhab kita, adalah mazhab Imam
Ahmad ibn Hanbal, Imam Ahl As-Sunnah dalam masalah furu’, tidak perlu
lagi kita melakukan ijtihad sendiri. Apabila jelas bagi kita sunnah
shahihah dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam kita akan
mengamalkannya. Kita tidak akan mendahulukan pendapat siapapun di dunia
ini atas As-Sunnah tersebut.” (Mas’ud an-Nadwi, Muhammad ibn Abd
al-Wahhab, Mushlih Mazhlum wa Muftara alaih, Riyadh: Jami’ah al-Imam
Muhammad ibn Su’ud al-Islamiyah, 1411, hlm. 148.)
Dalam
kesempatan lain Muhammad Abdul Wahab menyatakan: “Kita belum berhak
menjadi mujtahid muthlaq, tidak ada seorang pun di antara kita yang
mengaku dapat melakukannya. Akan tetapi dalam beberapa masalah, jika
menurut kita ada pendapat yang jelas-jelas berdasarkan Al-Qur’an maupun
As-Sunnah yang dikemukakan imam-imam fiqih yang lain, tentu akan kita
ambil, walupun dengan demikian kita harus meninggalkan pendapat
Hanabilah.” (Mas’ud an-Nadwi, Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab, Mushlih
Mazhlum wa Muftara ‘alaih (Riyadh: Jami’ah al-Imam Muhammad ibn Su’ud
al-Islamiyah, 1411), hlm. 149).
Adakalanya,
dalam beberapa hal, beliau berhujjah dengan mengutip pendapat Imam Ibn
Taimiyah dan Imam Ibn al-Qayyim, tanpa harus taqlid kepada keduanya.
Syeikh Muhammad Abdul Wahhab, hanya mengikuti Ibn Taimiyah dan Ibn
al-Qayyim, jika menurut pengetahuannya, pendapat kedua imam besar
tersebut sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Beliau menyukai dua
tokoh besar ini, karena komitmen mereka berdua yang sangat kuat untuk
berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Muhammad Abdul Wahab
menyatakan: “Imam Ibn al-Qayyim dan gurunya adalah dua orang imam
kebenaran dan Ahlus Sunnah, kitab-kitab mereka, bagi kami, termasuk
kitab-kitab yang bemilai tinggi, namun demikian kita tidak taqlid
mengikuti mereka berdua dalam setiap persoalan.” (ibid.)
Syeikh Muhammad
Abdul Wahab, dalam persoalan furu’-fiqihiyah memang seorang Hanbali,
tetapi beliau tidak memaksa orang lain untuk mengikutinya. Beliau
meminta kepada seorang pengikuti Syafii untuk tetap menjadi Syafiiyan,
pengikuti Hanafi tetap menjadi seorang Hanafiyan, karena tidak seorang
pun imam-imam fiqih yang membenarkan perbuatan bid’ah dan taqlid. Dalam
hal ini Muhammad Abdul Wahab menyatakan: “Kami juga dalam masalah furu’
mengikuti mazhab Imam Ahmad ibn Hanbal, tetapi kami tidak menolak kalau
ada yang bertaqlid kepada salah satu dari empat mazhab yang ada, karena
mazhab-mazhab yang lain seperti Rafidhah tidak dapat dipercaya...”.
(Mas’ud an-Nadwi, Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab, Mushlih Mazhlum wa
Muftara ‘alaih (Riyadh: Jami’ah al-Imam Muhammad ibn Su’ud al-Islamiyah,
1411), hlm. 149.)
Seperti sudah
dijelaskan di atas, di samping memang tidak ta’ashub dengan mazhab
Hanbali, Syeikh Muhammad Abdul Wahab juga tidak menjadi penganjur orang
untuk mengikuti mazhab yang dianutnya sebagaimana banyak dilakukan oleh
para pengikuti mazhab fiqih lainnya. Beliau hanya mengambil dari mazhab
Hanbali apa-apa yang sesuai dengan dalil, dan mengambil pendapat
imam-imam fiqih lain mana yang menurut beliau dalilnya kuat. (Lihat juga
Manna’ al-Qathan, “I’timad Dakwah asy-Syaikh Muhammad ibn ‘Abd
al-Wahhab ‘ala al-Kitab wa As-Sunnah” dalam Buhuts Nadwah Dakwah
asy-Syaikh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab rahimahullah (Riyadh: Jami’ah
Imam Muhammad ibn Su’ud al-Islamiyah, 1991), jilid I, him 239-241).
Berpegang Teguh dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah
Dalam berbagai
kesempatan, baik melalui buku-buku, risalah-risalah, fatwa-fatwa dan
pelajaran-pelajaran yang diberikan kepada murid-muridnya, Syeikh
Muhammad Abdul Wahab, berulang-ulang menegaskan pentingnya kembali
kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Tidak hanya dalam masalah akidah, dalam
persoalan fiqih pun sikap ini tetap beliau ikuti dengan konsisten. Kita
akan lihat dalam tulisan-tulisannya tentang berbagai persoalan fiqih,
beliau konsisten mengemukakan dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, salah
satu atau kedua-duanya. Sebagai contoh, tentang tayamum, dalam Kitab
Thaharah, Muhammad Abdul Wahab menulis: “Tayamum termasuk kekhususan
umat ini, Allah tidak menjadikan tanah suci bagi umat lainnya, dia juga
merupakan ganti bersuci dengan air untuk segala sesuatu yang menggunakan
air tetapi tidak dapat ditemukan. Syarat tayamum ada empat: 1) Tidak
sanggup menggunakan air, bisa karena tidak ada air berdasarkan firman
Allah: “...lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan
tanah yang baik..” (Qs. Al-Maidah: 6), atau karena khawatir penggunaan
air akan mendatangkan mudharat karena sakit tertentu, atau karena sangat
dingin atau karena luka, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“...dan jika kamu sakit...” (Qs. Al-Maidah: 6). Dan juga berdasarkan
Hadits ‘Amru bin al-’Ash, diriwayatkan oleh Abu Daud. Atau takut
kehabisan air untuk minum, berdasarkan ijma’ yang diriwayatkan oleh Ibn
Al-Mundzir, atau dia harus membelinya dengan harga yang mahal lebih dari
harga biasa. Jika dia mungkin menggunakan air untuk sebagian badan,
harus dia gunakan dan bertayamum untuk bagian badan yang lain,
berdasarkan Hadits Abu Hurairah yang di dalamnya ada teks: “Jika aku
memerintahkan kamu untuk melakukan sesuatu, maka lakukanlah sebatas
kemampuanmu. 2) Telah masuk waktu. Berkata Syeikh Taqiyuddin: “Tayamum
menghilangkan hadats. Ini adalah mazhab Abu Hanifah, dan riwayat dari
Ahmad. Dia berkata dalam al-Fatawa al-Mishriyah: Tayamum untuk setiap
waktu shalat sampai masuk waktu shalat lain adalah pendapat yang paling
baik.” (Manna’ al-Qathan, “I’timad Dakwah asy-Syaikh Muhammad ibn ‘Abd
al-Wahhab ‘ala al-Kitab wa As-Sunnah” dalam Buhuts Nadwah Dakwah
asy-Syaikh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab rahimahullah, Riyadh: Jami’ah
Imam Muhammad ibn Su’ud al-Islamiyah, 1991, jilid I, hlm 239-240.)
Contoh lain
tentang shalat berjamaah beliau menulis: “Paling sedikit shalat
berjamaah dua orang, kecuali Jum’at dan Shalat ‘ld. Hukumnya wajib atas
setiap orang, baik yang muqim, maupun yang musafir, bahkan tetap wajib
dalam keadaan takut, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Dan
apabila kamu berada di tengah-tengah mereka, lalu kamu hendak mendirikan
shalat bersama-sama mereka...” (Qs. An-Nisa’ 102). Shalat berjamaah
lebih utama 27 derajat dibandingkan shalat sendiri. Lebih utama
dikerjakan di Masjid, apalagi di Masjid Haram, dan begitu juga lebih
utama jika jamaahnya lebih banyak, dan masjidnya lebih jauh, janganlah
seseorang mengimami shalat di sebuah masjid sebelum imam tetap, kecuali
atas izinnya, atau imam ratibnya terlambat, maka tidak makruh,
berdasarkan perbuatan Abu Bakar dan Abd ar-Rahman ibn ‘ Auf.” (Abd
al-Muhsin ibn Hamad al-Badar, Syarh Kitab Adah al-Masyi ila ash-Shalah
(al-Musytamil ‘ala Ahkam ash-Shalah, wa az-Zakah wa ash-Shiyam), karya
Syaikh al-Islam Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab (Riyadh: t.p., 1426), him
108-110.)
Sekalipun
Syeikh Muhammad Abdul Wahab selalu merujuk kepada Al-Qur’an dan
As-Sunnah, tetapi secara teknis adakalanya beliau tidak mengutip sama
sekali teks Hadits yang dimaksud, malah kadangkala tidak menyebut sama
sekali dalil yang dirujuknya. Misalnya tentang menentukan awal Ramadlan,
beliau menulis: “Disunahkan mengamati munculnya hilal malam tiga puluh
bulan Sya’ban, diwajibkan puasa Ramadhan apabila hilal sudah terlihat,
maka apabila tidak dapat dilihat hilal, maka sempurnakanlah Sya’ban tiga
puluh hari, barulah kemudian berpuasa tanpa ada perbedaan pendapat”
(Abd al-Muhsin ibn Hamad al-Badar, Syarh Kitab Adab al-Masyi ila
ash-Shalah (al-Musytamil ‘ala Ahkam ash-Shalah, wa az-Zakah wa
ash-Shiyam), karya Syaikh al-Islam Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab (Riyadh:
t.p., 1426) hlm 215.)
Dalam masalah
ini, Muhammad Abdul Wahab tidak mengutip Hadits riwayat Bukhari dan
Muslim tentang menentukan awal Ramadlan dan awal Syawal dengan melihat
hilal, apabila hilal tidak terlihat karena mendung, jumlah hari dalam
bulan itu dipenuhkan tiga puluh. Boleh jadi teks hadits tersebut tidak
dikutip karena sudah sangat populer atau sudah ditulis pada buku atau
risalah lain. Penulis Syarah seperti Abd al-Muhsin al-Badr kemudian
menelusuri dan mengutipnya dengan menyebut sumbernya.
Empat Kaidah Pokok
Menurut Syeikh
Muhammad Abdul Wahab, ada empat kaidah pokok yang menjadi landasan
memahami agama Islam, baik dalam ilmu tafsir, ilmu ushul, atau ilmu
amalan hati atau yang dinamai ilmu suluk, ilmu halal dan haram atau
ahkam atau yang dinamai dengan fiqih, atau ilmu wa’d dan wa’id atau
ilmu-ilmu agama yang lainnya. Empat kaidah itu adalah:
1. Tidak boleh berbicara tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala tanpa ilmu. Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang artinya: “Katakanlah: “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (Al-A’raf: 33)
2. Segala sesuatu yang Asy-Syari’ mendiamkannya maka dia termasuk yang dimaafkan, tidak boleh seorang pun mengharamkan, atau mewajibkan, atau mengistihabkan, atau memakruhkannya. Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al-Qur’an itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang halhal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun”. (Al-Maidah: 101)
Nabi Muhammad
shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Segala sesuatu yang Allah
mendiamkannya adalah rahmat bagi kalian, bukan karena lupa, oleh sebab
itu jangan bertanya tentang hal itu.” (H.R. ad-Daruquthni, menurut Imam
Nawawi Hadits ini hasan.)
3.
Meninggalkan dalil yang jelas, kemudian beristidlal dengan lafzh
mutasyabih adalah jalan orang yang menyimpang seperti Rafidhah dan
Khawarij. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya: “Dia-lah
yang menurunkan Al Kitab (Al-Qur’an) kepada kamu. di antara (isi) nya
ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an dan yang
lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya
condong kepada kesesatan. Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat
yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk
mencari-cari ta’wilnya. (Ali Imran: 7)
Adalah wajib
bagi seorang Muslim mengikuti yang muhkam. Jika dia mengetahui makna
mutasyabih, boleh diikuti jika tidak bertentangan dengan yang muhkam,
kalau tidak, wajib baginya mengikuti apa yang dikatakan oleh orang-orang
yang mendalam ilmunya, yaitu: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang
mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” (Bagian dari Ali
Imran: 7)
4. Nabi
Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan bahwa yang halal sudah
jelas, dan yang haram juga sudah jelas, sedangkan antara keduanya ada
perkara-perkara yang mutasyaabihaat, maka barangsiapa yang tidak
mengikuti kaidah ini, lalu ingin berbicara tentang segala sesuatu
tentang panjang lebar maka dia telah sesat dan menyesatkan. (Shalih ibn
Abd ar-Rahman al-Athram, I’timad Fiqih Dakwah Syaikh Muhammad ibn ‘Abd
al-Wahab ‘ala al-Kitab wa As-Sunnah, dalam Buhuts Nadwah Dakwah
asy-Syaikh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab rahimahullah (Riyadh: Jami’ah
Imam Muhammad ibn Su’ud al-Islamiyah, 1991), jilid I, hhn 272-273.)
Penutup
Dari uraian
ringkas di atas jelaslah bagi kita bahwa Syeikh Muhammad Abdul Wahab,
dalam bidang fiqih —sebagaimana bidang-bidang yang lain— selalu
berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Beliau berangkat dan
mengembalikan segala sesuatunya kepada kedua sumber utama ajaran Islam
ini. Sekalipun beliau dididik sejak kecil dalam mazhab Hanbali dan
kemudian menjadi pengikutnya, tetapi beliau tidaklah memiliki sikap
fanatik atau ta’ashub dengan mazhab ini, dan tidak ada hambatan bagi
beliau mengambil pendapat mazhab yang lainnya jika menurutnya sesuai
dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Demikianlah, semoga bermanfaat. [SM No. 01/Th. ke-97 | 1-15 Jan 2012]
sumber : www.fastabiqu.com