Jumat, 02 Desember 2016

Akhir 4 Kasus Penistaan Agama Sebelum Ahok

Akhir 4 Kasus Penistaan Agama Sebelum Ahok


Oleh: Syamsuar Hamka

Meski sedikit menurun, tensi pemberitaan media terkait kasus penistaan agama oleh Gubernur non aktif DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok belum juga reda. Hal itu disebabkan tuntutan dari berbagai elemen umat islam di bawah koordinasi Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI atau GNPF-MUI belum sepenuhnya ditunaikan. Sebab selain menjadikan tersangka, Ahok juga dituntut sesuai Hukum Yurisprudensi yang berlaku juga sama dengan kasus sebelumnya dalam penistaan agama, yaitu ditahan.

Beberapa kasus diantaranya adalah Lia Aminuddin yang mengaku sebagai Malaikat Jibril, Ahmad Musadeq yang mengaku sebagai Nabi, Permadi dan begitu pula kasus Arswendo Atmowiloto.
Bagaimana akhir dari keempat kasus penistaan agama ini? Mari simak penjelasannya.

Pertama, Lia Aminuddin, atau yang akrab dipanggil Lia Eden pernah membuat gempar. Pada Agustus 1999 silam, Lia bersama 75 orang jemaahnya, atau yang dikenal dengan Jamaah Salamullah melakukan ritual memerangi Ratu Pantai Selatan Nyi Roro Kidul. Ritual di bibir pantai Pelabuhan Ratu, Sukabumi, itu disebut Lia untuk membinasakan Nyi Roro Kidul, yang mereka anggap lambang kemusyrikan. Selain itu, pada Perayaan Natal 1999 ia mengirim sapaan selamat Natal lewat pos, yang dikirim ke 300 gereja di Indonesia. "Ini untuk mengurangi ketegangan SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan)," kata Lia seperti dilansir tempo (http://m.tempo.co/read/news/2015/06/06/078672566/Begini-Perjalanan-Metamorfosa-Lia-Eden).
Memasuki periode tahun 2000 Lia pun dijebloskan ke penjara atas ajaran yang dianutnya. Ia yang mengaku pernah bertemu Bunda Maria, mendapat vonis Pertama, pada 29 Juni 2006 Pengadilan Negeri Jakarta Pusat selama dua tahun penjara. Lia terbukti bersalah karena telah menodai agama, melakukan perbuatan tak menyenangkan, dan menyebarkan kebencian. Kali kedua, giliran pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 2 Juni 2009 menjatuhkan hukuman penjara 2 tahun 6 bulan kepadanya. Dia dinilai terbukti melakukan penistaan dan penodaan agama.

Penodaan seperti apa? Dalam penjelasan Lembaga Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam diperoleh beberapa fakta bahwa, Lia mengaku mendapat wahyu dalam bahasa Indonesia dan setiap wahyu itu turun ditulis oleh seorang penulis wahyu yang senantiasa siap di depan komputer rumahnya di Bungur. Begitu selesai ditulis, wahyu-wahyu itu di-print out dan dikirimkan kepada seluruh organisasi Islam dan Pondok Pesantren di seluruh Indonesia. Selain itu, Lia Eden mengaku bersuami dengan Malaikat Jibril yang tinggal di Surga Eden dan senantiasa berhubungan suami istri (seperti manusia) dengan Malaikat Jibril di rumahnya di Bungur Jakarta. Kesemua itu tentu adalah ajaran yang keliru. Dan kesemuanya bermuatan penistaan agama karena mengambil simbol-simbol agama yang diakui di Indonesia, yaitu Islam.

Hampir sama dengan Lia Eden, kasus kedua adalah kasus Ahmad Musadeq juga dipenjarakan karena penistaan agama Islam. Ahmad Musadeq adalah mantan pimpinan aliran Al-qiyadah Al Islamiyah yang populer pada 2006 lalu karena mengaku diri sebagai rasul. Dia mengaku mendapatkan wahyu saat sedang bersemedi dan melaporkan hal ini kepada teman-temannya. Dia juga mengaku bertemu dengan malaikat Jibril dan diangkat menjadi rasul untuk membawa risalah yang baru. Ia menyatakan bahwa ajaran yang dibawanya adalah Millah Abraham yang merupakan sebuah komunitas ajaran yang dianggap sesat lewat Fatwa MUI karena mencampuradukkan ajaran Islam, Nasrani dan Yahudi. (http://atjehpost.co/ berita2/read/Cerita-Ahmad-Musadeq-dan-Alirannya-yang-Sering-Berubah-Nama-18640).

Terakhir, gerakan Ahmad Musadeq bermetamorfosa menjadi Gafatar, atau Gerakan Fajar Nusantara. Namun tidak berlangsung lama, Senin, 30 Mei 2016, setelah menghimpun barang bukti, Kepolisian Republik Indonesia berhasil menangkap dan memenjarakan tiga tersangka kasus makar dan penistaan agama yang dilakukan Gafatar ini. Ahmad Musadeq bersama Mahful Muis Tumanurung dan Andri Cahya yang merupakan anak Musadeq sendiri telah melakukan makar karena diduga berencana mendirikan Negeri Karunia Tuhan Semesta Alam dan menistakan agama. Berbagai barang bukti yang disita ini terdapat beberapa keping VCD dokumentasi deklarasi negara di daerah, akta akidah, akta pengorbanan, hingga tabloid Gafatar. Ada juga 15 unit laptop, telepon seluler, dan beberapa buku yang wajib dibaca oleh para pengikut Gafatar. Ia dan dua terlapor lainnya dijebloskan ke dalam penjara setelah berubah status menjadi tersangka.

Lain halnya dengan kasus ketiga, Kasus Permadi. Dalam sebuah unggahan video yang berdurasi beberapa menit itu, seorang Lelaki berumur mengungkapkan pernyataan tentang Kasus Ahok. Video yang sempat menjadi viral di media sosial tersebut berisi pernyataan Permadi yang mengaku juga pernah dijebloskan ke penjara karena menistakan agama.

Bagaimana sampai ia ditahan? Seperti dilansir panjimas.com, Permadi mengungkapkan kesepakatannya dengan rekannya, Rafly Harun yang menyatakan bahwa “Hanya ada satu diktator di dunia ini yang baik, yakni Nabi Muhammad. Karena bukan untuk kepentingan pribadi dan golongannya tapi untuk umatnya.” Permadi yang mendengarkan penyataan itu pun pun langsung bilang, “Saya sependapat dengan anda, Nabi Muhammad adalah diktator yang baik seperti yang anda katakan,”. Akan tetapi, yang terjadi kemudian adalah peristiwa itu disebar dalam rekaman yang dipotong-potong. Ucapan Rafly Harun dihilangkan, dan yang ada hanya jawaban Permadi, “Nabi Muhammad Diktator.” Penggalan itu pun Disebarluaskan ke umat Islam dan akhirnya menuai protes keras. Ribuan umat Islam datang ke Kejaksaan Agung, dan ke rumah Permadi sambil membawa poster yang bertuliskan “Tangkap Permadi”, “Gantung Permadi”, “Darah Permadi Halal”, dan akhirnya ia pun langsung ditangkap dan dipenjara.” (lihat: http://www.panjimas.com/news/2016/11/21/inilah-cerita-permadi-saat-dirinya-ditangkap-atas-kasus-penistaan-agama/)

Kasus tersebut mirip dengan kasus keempat, Kasus Arswendo. Menurut penuturan ahli hukum pidana, Teuku Nasrullah seperti dilansir Hidayatullah.com, Arswendo juga sebenarnya tidak sengaja menista dan membuat kegaduhan umum. Kasus Arswendo Atmowiloto pada tahun 1990 terjadi saat ia (Arswendo) membuat polling di Tabloid Monitor, siapa tokoh idola menurut para pembacanya. Menurut hasil polling yang dirilis tabloid itu, nama Presiden Soeharto berada di urutan pertama. Disusul kemudian dengan nama BJ Habibie, Soekarno, lalu musisi Iwan Fals. Nama Arswendo masuk ke dalam urutan ke-10, sementara Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam berada pada urutan ke-11. Hal ini kembali menuai reaksi dari umat Islam. Muncul kemarahan dan ia pun dilaporkan atas tuduhan penghinaan kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam. Meski Arswendo berkilah, bahwa ia tidak punya maksud atau sengaja menghina Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, namun ia tetap dijatuhi hukuman 4 tahun penjara. Hal tersebut menurut Nasrullah, adalah karena faktor kesengajaan dalam pasal penistaan agama bukan kesengajaan dalam maksud. Tapi kesengajaan yang dapat diduga mengetahui bahwa perbuatannya menista agama dan mengganggu ketertiban umum. Arswendo dihukum karena patut mengetahui perbuatannya mengganggu ketertiban umum. “Sebab, pasal 156 ada di bawah Bab Ketertiban Umum. Penistaan agama tidak di bawah pasal agama tapi di bawah Bab Ketertiban Umum. Ini tentang ketertiban umum. Setiap orang harus menjaga ketertiban umum,” ujar Nasrullah. (lihat: http://www.hidayatullah.com/ berita/nasional/read/2016/11/11/104895/arswendo-mengaku-tak-sengaja-menista-agama-tapi-dihukum-4-tahun-penjara.html).

Jika melihat ke-empat kasus Penistaan di atas, maka seharusnya apa yang menimpa Gubernur Non Aktif DKI Jakarta, BTP alias Ahok haruslah juga diterapkan sama. Sebab keempat-empatnya ditahan oleh Kepolisian saat statusnya menjadi Tersangka. Hal itu, dalam logika sehat kita bahwa hukum adalah instrument tertinggi dalam menegakkan keadilan. Keadilan tidaklah melihat siapa pun. Sebab semua sama di mata hukum. Supremasi hukum harus ditegakkan. Dan Ahok juga harus merasakan apa yang telah dilakukan oleh 'pendahulunya', yang telah menista agama. (Wallahu a'lam bi as-Shawab).[]

(Penulis adalah Alumnus Program Kaderisasi 1000 Ulama DDII-Baznas 2016, Penulis Buku 'Api Tarbiyah')
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berita

Kajian

Koreksi

Kisah

Muslimah

Khazanah

Catatan Kecil

Opini

Dari Ummat

Dibolehkan menyebarkan konten website ini tanpa perlu izin dengan tetap menyertakan sumbernya. Tim al-Balagh Media