Rabu, 27 Januari 2016

Konsep Penanganan Tindak Korupsi dalam Sejarah Khulafa’ Al-Rasyidin


Oleh: Rappung Samuddin, Lc. MA.

Upaya-upaya yang ditempuh pemerintah guna mencegah penyalahgunaan kekayaan negara merupakan perkara yang muktabar dalam syari’at. Sejak zaman Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, Masa kekhalifaan Abu Bakar al-Shiddiq, Umar bin al-Khatthab, Utsman dan Ali radhiallahu anhum, serta Dinasti Umawiyah, telah nyata aplikasinya kendati dalam bentuk yang masih sederhana. Hal ini memberi petunjuk akan urgensinya yang tidak kecil. Sebab, harta kekayaan negara pada hakikatnya adalah milik rakyat umum. Sementara penyelenggara negara, dalam hal ini pemegang kekuasaan tertinggi, hanya merupakan wakil rakyat dan pemegang mandat dalam menciptakan kebaikan dan mashlahat mereka.

Banyak riwayat Shahih yang menunjukkan perhatian Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap harta negara tersebut; diantaranya kisah teguran Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap seorang yang dipekerjakan memungut zakat lalu mengambil hadiah dari pekerjaannya tersebut.

Dari Abu Humaid al-Sa’idi, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengangkat seorang dari kabilah al-Azd, yang bernama Ibnu Utbiah, sebagai amil zakat bagi Bani Sulaim. Ketika tiba di hadapan Rasulullah, Nabi menyuruh seseorang menghitung harta yang terkumpul. Ketika itu, Ibnu Utbiah berkata: “Ini harta untukmu, sedangkan yang ini adalah hadiah (untukku)”. Nabi lantas bersabda: “Mengapa engkau tidak duduk saja di rumah bapak dan ibumu, sehingga engkau diberi hadiah jika engkau memang diberi hadiah!”. Lalu Nabi naik mimbar dan berkhutbah. Setelah memuji dan menyanjung Allah, beliau bersabda:
"Aku mengangkat seseorang untuk mengerjakan tugas yang Allah bebankan kepada diriku. Lalu dia datang dan berkata: “Ini hartamu, sedangkan yang ini adalah hadiah untukku”. Mengapa dia tidak duduk saja di rumah bapak dan ibunya, sehingga diberi hadiah jika memang dia diberi hadiah? Demi Allah, tidaklah ada seseorang yang mengambil harta tanpa alasan yang benar, kecuali pasti dia berjumpa dengan Allah dalam keadaan memikul harta tersebut. Sungguh, aku tahu ada seseorang yang berjumpa dengan Allah dengan memikul unta yang bersuara, sapi yang melenguh, atau kambing yang mengembik”.

Kemudian, Nabi mengangkat kedua tangannya sehingga putih ketiaknya terlihat jelas, lantas berkata: “Ya Allah, bukankah aku telah menyampaikan?”. (1).

Demikian pula di zaman Abu Bakar al-Shiddiq. Diriwayatkan, bahwa khalifah Abu Bakar al-Shiddiq sangat ketat menghitung dan mengawasi pegawai-pegawainya dalam urusan pengeluaran atau pembelanjaan uang Negara. Tatkala Mu’adz bin Jabal radhiallahu anhu datang dari negeri Yaman pasca wafatnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka Abu Bakar berkata padanya: “Perlihatkan daftar hitunganmu”. Mu’adz pun menimpali: “Apakah (saat ini) ada dua perhitungan; perhitungan bersama Allah dan perhitungan bersama anda? Lalu beliau pun menghitung dan menjabarkan seluruh sumber-sumber pemasukan (al-iraadaat) dan pengeluaran-pengeluarannya (al-nafaqaat)”. (2)

Di masa kepemimpinan Umar bin al-Khattab radhiyallahu 'anhu, banyak terobosan yang beliau lakukan terkait penyelamatan harta negara; diantaranya:

1. Mengangkat pegawai terbaik, sebagaimana dilakukan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan Abu Bakar al-Shiddiq.
2. Menghitung kekayaan pejabat-pejabatnya sebelum memegang jabatan dalam pemerintahan.
3. Menerapkan aturan pemotongan harta (pendapatan) pejabat negara (diluar gaji pokok), untuk dimasukkan ke dalam kas negara, tatkala beliau ragu bahwa harta yang mereka peroleh itu dikarenakan jabatan atau melalui kekuatan pengaruhnya.
4. Mengutus pengawas dan mata-mata untuk mengawasi kinerja para pejabat.
5. Membentuk badan pemeriksa untuk menghitung secara detail penghasilan dan pengeluaran (para pejabat) serta mengevaluasi kinerja mereka.
6. Mengeluarkan perintah agar para pejabat dan pegawai-pegawainya, ketika hendak kembali ke negeri-negeri tempat tugas mereka di waktu siang. Hal tersebut agar mereka tidak bisa menyembunyikan apa yang mereka bawa berupa hadiah dan selainnya.
7. Bahkan terkadang beliau sendiri yang turun tangan untuk mengadakan inspeksi terhadap kinerja para pejabatnya. (3)

Diriwayatkan, beliau berkata: “Ketahuilah, aku tidak menemukan kebaikan harta itu kecuali pada tiga hal: 1. Diambil dengan cara yang benar, 2. Dibagikan dengan cara yang, 3. Serta dijaga dari perkara-perkara yang batil. Hanya saja, posisiku terhadap harta kalian itu seperti wali anak yatim. Jika aku kaya, maka aku tidak akan mengambilnya (bagian dari jasa penjagaan), tapi jika aku miskin maka aku akan memakannya dengan cara yang makruf (legal)”. (4)

Pada masa pemerintahan Utsman bin Affan radhiyallahu 'anhu, beliau pun melakukan banyak hal yang sama, dengan masa Umar bin al-Khattab radhiyallahu 'anhu. Diantara starategi Utsman dalam mengawasi kinerja pejabat-pejabatnya, termasuk diantaranya masalah penggunaan kas negara adalah sebagai berikut:

1. Melakukan ibadah haji setiap musim haji. Dalam hal ini, Utsman ingin mendengarkan langsung setiap pengaduan yang disampaikan oleh jama’ah haji terkait pemimpin mereka. Disamping mengundang para pemimpin-pemimpin untuk menunaikan haji bersama dan duduk membahas hal-hal kedaulatan.
2. Mengutus tim penyidik untuk mengamati kondisi pejabat-pejabatnya. Beliau bahkan memiliki pembantu-pembantu khusus yang beliau percaya untuk mengawasi penggunaan kas negara. Contohnya, beliau mengirim Ammar bin Yasir ke Mesir, Muhmammad bin Maslamah ke Kufah, Usamah bin Zaid ke Bashrah, Abdullah bin Umar ke Syam dan lain sebagainya.
3. Melakukan kunjungan kerja ke berbagai wilayah untuk mengetahui situasi dan kondisinya secara langsung.
4. Meminta pengiriman delegasi dari berbagai wilayah untuk ditanyai tentang kinerja pimpinan dan gubernur. (5)

Di zaman kekhilafaan Ali bin Abi Thalib, lahir beberapa konsep kebijakan yang bertujuan menjaga harta negara dari tindak korupsi; diantaranya:
1. Menaikkan gaji pegawai dan pejabat. Hal ini ditunjukkan melalui nasehat beliau kepada para gubernurnya: “…Berikanlah kepada mereka rezki (yakni gaji) yang melimpah untuk memelihara diri mereka supaya tidak mengambil dana yang berada dalam tanggungjawabnya. Hal ini akan menjadi hujjah atas mereka jika menyelewengkan perintah anda dan amanah yang anda berikan…”. (6)
2.  Membentuk tim auditor yang bertugas mengedit dan mengawasi kinerja pejabat. Berikut nasehat beliau: “…Anda harus mengawasi kegiatan mereka (para pegawai) dan taruhlah orang-orang jujur dan setia yang melaporkan tentang kinerja mereka…”. (7)
Adapun kriteria yang ditetapkan oleh Amiriul Mukminin Ali bin Abi Thalib bagi tim auditor tersebut adalah sebagai berikut:
a. Mereka harus orang yang jujur hingga laporan yang dibuat benar adanya dan sesuai dengan realita.
b. Mereka harus orang yang menepati janji. Tujuan mereka bekerja adalah tulus mengabdi kepada negara. Setelah mereka membuat laporan kepada gubernur atau kepala daerah, maka gubernur atau kepala daerah harus mencermati dengan ketat hasil laporan tersebut dan tidak tergesa dalam menjatuhkan vonis berdasarkan laporan yang masuk. (8)

Nah, baru di zaman pemerintahan Bani Umayyah lahir sebuah institusi khusus yang fungsinya menyita uang nagara yang dikorupsi oleh pejabat pemerintah. Semisal dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ini. Lembaga ini memiliki wewenang memaksa para koruptor untuk mengaku dan membeberkan tempat penyimpanan harta hasil korupsi.

Ibnu Qutaibah meriwayatkan, lembaga ini lahir di zaman pemerintahan Ziyad bin Abihi yang sangat waspada terhadap orang-orang yang membantunya dalam pemerintahan. Beliau tidak segan memecat siapa pun yang melakukan pengkhianatan. Dan pemecatan itu didahului oleh pemberian hukuman yang setimpal. (9)

Banyak Ahli sejarah menyebutkan riwayat-riwayat terkait gebernur-gubernur yang menggunakan jasa institusi ini. Tujuannya adalah menyelamatkan aset negara dari tangan para koruptor atau dari orang-orang yang terindikasi melakukan penyimpangan atau tindakan buruk lainnya. Diantaranya, Gubernur Irak, Ubaidillah bin Ziyad memecat salah seorang pegawainya yang bernama Abdur Rahman dan menyita darinya uang sebesar dua ratus ribu dirham. Demikian pula, sang Gubernur berhasil menyelamatkan uang Negara dari salah seorang pegawainya sebesar seratus ribu dirham. (10). Wallahu A’lam.[]



Footnote:

1. HR. Bukhari no. 2597, dan Muslim no. 4844 dan 4845.
2. Terkutip dalam Dr. Husain Syahatah, Hurmah al-Maal al-Aamah fi Dhau’ al-Syari’ah al-Islamiyah, Daar al-Nasyr, Cet. I, thn. 1420 H/1999 M, hlm. 59.
3. Ibid, hlm. 59-60.
4. Terkutip dalam Dr. Ahmad Asyur, Khuthab Amiril Mu’minin Umar Ibn Khatthab wa Washayaahu, Daar al-I’thishom, thn. 1405 H/1985 M, hlm. 85.
5. Prof. Dr. Ali Muhammad al-Shalabi, Utsman bin Affan Radhiayallahu Anhu, Syakhshiyyatuhu wa Ashruhu, Cet. I, Mesir, Daar al-Tauzi’ wa al-Nasyr al-Islamiyah, thn. 2002 M, hal. 252-253.
6. Prof. Dr. Ali Muhammad al-Shallabi, Asma’ al-Mathalib fi Sirah Amir al-Mu’minin Ali Ibn Abi Thalib radhiallahu anhu Syakhshiyyatuhu wa Ashruhu, al-Imarat, Maktabah al-Shahabah, thn. 1425 H/2004M, hal. 495.
7. Ibid.
8. Ibid, hal. 456.
9. Abdullah bin Muhammad bin Muslim bin Quthaibah, Uyun al-Akhbar, Cet. I, Daar al-Kutub al-Ilmiyah, thn. 1406 H/1986 M, 1/55.
10. Prof. Dr. Ali Muhammad al-Shallabi, Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan Syakhshiyyatuhu wa Ashruhu, Cet. I, Daar al-Andalus al-Jadidah, thn. 1429 H/2008 M, hlm. 338.

Sumber: RappungSamuddin.com
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dibolehkan menyebarkan konten website ini tanpa perlu izin dengan tetap menyertakan sumbernya. Tim al-Balagh Media