![]() |
Meniti jalan yang lurus (ils) |
Merupakan tabiat dan fitrah setiap manusia untuk mencari kebenaran lalu berjalan menapakinya. Sekalipun dalam pencarian itu, setiap orang akan dihadapkan pada berbagai pilihan yang justru mengarahkannya pada kesesatan dan jurang api neraka. Sehingga, menjadi satu keharusan agar setiap orang berhati-hati memilah dan memilih jalan yang harus dipijakinya. Karena jika salah, akibatnya adalah penyesalan tiada akhir di hari kiamat kelak. Tidak ada agama dan petunjuk yang lebih baik dari Islam. Semua hal yang disyariatkan dalam islam adalah syariat yang wasath (pertengahan) dan terbaik dari seluruh agama buatan manusia, juga terbaik dari dua agama samawi lainnya yang ghuluw (berlebih-lebihan), yaitu yahudi dan nashrani.
Oleh karena itu, Allah mengajarkan kita doa untuk senantiasa memohon pada-Nya hidayah, lalu berjalan di atas shirat al-mustaqim kemudian berlindung dari sifat tercela dua agama ghuluw tersebut, yaitu yahudi dan dan nashrani. Allah berfirman (yang artinya):
“Tunjukilah Kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (Terjemahan QS. Al-Fatihah: 6-7)Syaikh Abdu ar-Rahman Ibnu Nashr As-Sa'di rahimahullah dalam kitab tafsirnya Taisiru al-Kariimi ar-Rahman ketika menafsirkan ayat ini berkata: “maksudnya adalah tunjukilah dan berikanlah kami taufik pada shirat al-mustaqim. Dia adalah jalan yang jelas, yang menghubungkan kepada Allah dan kepada surga-Nya. Mengetahui yang hak dan beramal dengannya. Maka hidayahkanlah kami kepada “shirath” dan hidayahkanlah kami dalam shirath. Adapun hidayah pada shirath adalah iltizam pada Islam dan meninggalkan agama-agama selainnya dan hidayah dalam shirath adalah hidayah yang mencakup seluruh hal-hal yang terperinci dalam agama, berilmu dan beramal dengannya. Doa ini adalah diantara doa yang paling lengkap dan paling bermanfaat bagi para hamba. Oleh karena itu, wajib bagi setiap manusia untuk berdoa kepada Allah dalam setiap raka'at shalatnya dengan doa ini, karena ia sangat dibutuhkan. Adapun yang dimaksud shirat al-mustaqim adalah jalannya orang-orang yang telah diberikan nikmat pada mereka, yaitu dari kalangan para Nabi, orang-orang yang jujur, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang yang shalih. Bukan jalannya orang-orang yang “maghdubi 'alaihim” (mendapat murka) yaitu orang-orang yang mengetahui kebenaran tetapi tidak mau beramal dengannya, seperti yahudi dan selainnya. Bukan pula jalannya “adh-dholliin” (orang-orang yang tersesat) yaitu orang-orang meninggalkan kebenaran dan beramal di atas kebodohan seperti orang-orang nashrani dan selain mereka.” (lihat: Taisiru al-Karimi ar-Rahman Fi Tafsiri Kalami al Mannan: 28)
Tidak ada jalan kedamaian, jalan keselamatan dan jalan kemenangan kecuali dengan memeluk islam serta meninggalkan seluruh agama selainnya, kemudian berlepas diri dari hal-hal yang berbau kesyirikan atau perkara yang seolah-olah meridhai agama selain Islam. Inilah praktek yang benar dalam beragama sebagaimana yang dilakukan oleh Ibrahim 'alaihi as-salam tatkala ia telah mengetahui Tuhannya adalah Allah Azza wa Jalla. Ia mendatangi orangtuanya serta kaumnya seraya berkata: "Hai kaumku, Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.” (Terjemahan QS. Al-An'am: 78)
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya):
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan Dia di akhirat Termasuk orang-orang yang rugi.” (Terjemahan QS. Ali Imran: 85)
Di zaman ini, Islam yang begitu terang benderang laksana sinar mentari di siang hari, mulai dikaburkan oleh manusia-manusia yang sok pintar akan agama. Akhirnya, masyarakat bingung, umat Islam terpecah belah dalam kelompok-kelompok lalu semua mengaku paling benar. Kebingungan itu mengantarkan masyarakat pada satu pertanyaan, “kelompok manakah yang harus di ikuti dari semua kelompok yang ada?”.
Sebenarnya perpecahan ini telah disebutkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sebelum kematiannya. Beliau kemudian mewanti-wanti dan memberikan nasehat berupa wejangan-wejangan yang sangat agung. Sahabat yang bernama al-Irbadh Ibnu Sariyah radhiyallahu 'anhu ia berkata:
Suatu hari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah memimpin kami shalat, lalu (setelah selesai shalat) beliau menghadap kepada kami dan menasehati kami. Nasehat itu begitu menyentuh, membuat air mata kami berduyur jatuh, menangis. Dan nasehat itu begitu menggetarkan hati-hati kami. Maka salah seorang sahabat bertanya, “wahai Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam- nampaknya ini adalah nasehat perpisahan, maka apakah yang engkau wasiatkan untuk kami?” Maka beliau shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Aku wasiatkan kepada kalian untuk senantiasa bertaqwa kepada Allah, mendengar dan taat walaupun kalian dipimpin oleh seorang budak dari habasyah (ethopia), karena sesungguhnya siapa saja yang hidup setelah aku meninggal nanti, maka dia akan melihat perselisihan yang sangat banyak. Maka hendaklah kalian berpegang pada sunnah-sunnahku dan sunnah-sunnah para khalifah yang mendapatkan petunjuk dan terbimbing. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah dengan gigi geraham kalian. Dan jauhilah segala perkara-perkara baru dalam agama karena setiap yang baru dalam agama ini adalah bid'ah dan setiap bid'ah itu sesat.” (HR. Abu Dawud: 4609, HR. Ahmad: 17185)
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah Ibnu Amr radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga pernah bersabda:
“Sungguh akan datang suatu masa pada umatku sebagaimana telah terjadi pada kalangan Bani Israil persamaannya seperti sepasang sandal (saking miripnya-pent) sampai-sampai walau di kalangan Bani Israil itu ada yang menggauli/berzina dengan ibunya, maka sungguh pada umatku akan ada yang melakukan hal itu. Sesungguhnya Bani Israil terpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan dan umatku akan terpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Semuanya masuk neraka kecuali satu.” Mereka (para sahabat) bertanya, “siapakah mereka wahai Rasulullah? Beliau bersabda: “siapa yang berada di jalanku dan jalan para sahabatku.” (HR. Tirmidzi: 2641)Dalam riwayat lain disebutkan, mereka adalah al-jama'ah.
Nama al-jama'ah atau ahlu sunnah wal jama'ah ini kemudian diperebutkan oleh setiap orang dan setiap kelompok. Mereka mengaku sebagai ahlu sunnah wal jama'ah, namun kenyataannya mereka adalah ahlu al-bid'ah wa al-iftiraq (kelompok pengikut bid'ah dan gemar berpecah).
Ahlu sunnah adalah kelompok pertengahan, karena ia adalah Islam yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam lalu dilanjutkan oleh para sahabatnya, para tabi'in dan atba'u at tabi'in serta para imam setelah mereka yang selalu meniti jalan mereka.
Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam beribadah selalu mengikuti/ittiba’ sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena mereka memahami dengan benar bahwa setiap amal ibadah dalam agama yang tidak termasuk dalm tuntunan beliau, maka amal itu tertolak. Prinsip inilah yang sejak dahulu telah dipahami oleh para imam madzhab, dan hal itu pun juga mereka wasiatkan kepada umat Islam agar kita berpegang kepada sunnah Rasulullah.
Ahlusunnah juga berada diantara 2 sikap yang menyimpang yakni sikap tafrith dan ifrath.
Tafrith adalah sikap yang bermudah-mudah terhadap perkara agama ini. Sikap ini paduan dari cara berfikir liar dan kemalasan dalam beramal ala liberal. Misalnya atas nama toleransi maka perkara akidah digadaikan.
Adapun ifrath adalah sikap berlebih-lebihan dalam menjalankan agama ini. Sedemikian semangatnya, hingga tidak disadari apa yang diamalkan tersebut menambahi apa yang telah dicukupkan Allah dan RasulNya dari agama ini. wal’iyadzubillah.
Wallahu a'lam bish-showab.[]
Palembang, 14 Rabiul Awwal 1436 H.
Dimuat di Buletin al-Balagh edisi 11 Tahun X, 1436 H