“Terorisme” yang dalam bahasa Arab disebut “Al-Irhab”
merupakan isu internasional terbesar di abad 21 ini. Pada dasarnya
istilah terorisme mengandung konotasi negatif yang identik dengan
kejahatan terencana, tanpa memandang siapa pelakunya, apa agamanya, dan
dari bangsa mana ia berasal. Namun, pada prakteknya, disadari atau tidak
istilah tersebut menjadi identik dengan masyarakat Arab dan setiap
muslim yang teguh memegang ajaran Islam berlandaskan al-Quran dan
sunnah.
Mungkin kita sering bertanya-tanya,
siapakah teroris yang sebenarnya? Bagaimana pandangan Islam terhadap
terorisme? Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang sulit untuk kita jawab,
apalagi setelah istilah ini bercampur baur antara haq dan bathil.
Bagian Pertama: Terorisme Dalam Perspektif Islam
Islam sebagai satu-satunya agama yang benar dan tetap eksis di muka bumi ini, telah memberikan
landasan-landasan yang jelas bagi pemeluknya dalam setiap urusan.
Begitu pula terhadap tindakan kekerasan, perusakan, dan terorisme. Di
bagian pertama ini, akan dipaparkan secara jelas tentang definisi
terorisme menurut Islam, macam-macam terorisme, dan hukumnya.
A. Definisi Terorisme Dalam Perspektif Islam
“Al-Irhab”, kata dalam bahasa
Arab yang dijadikan sinonim bagi terorisme ini belum mempunyai definisi
yang tetap di kalangan ulama Islam terdahulu. Karena kata ini, dalam
konteks kekerasan dan teror, tidak begitu masyhur pada saat itu.
Adapun dalam al-Quran , kata dasar “Al-Irhab” ini disebutkan di beberapa ayat, yang kesemuanya mengandung tiga makna utama, yaitu:
- Takut disertai pengagungan dan rasa cinta, seperti yang disebutkan dalam firman Allah di dalam surat al-Baqarah: 40, al A’raf: 154, an-Nahl: 51, dll.
- Ibadah dan meninggalkan semua urusan duniawi, seperti yang disebutkan dalam surat al-Hadid: 27.
- Takut dan gentar kepada musuh, seperti yang disebutkan dalam surat al-Anfal: 60, al-A’raf: 116, dan al-Hasyr: 13.
Makna yang terakhir inilah yang lebih dekat dengan kata terorisme dalam topik ini.
Definisi Terorisme Versi Syariah
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa ulama salaf belum memberikan definisi paten untuk istilah Al-Irhab/terorisme
dalam konteks yang dimaksudkan. Baru pada abad 21 ini sebagian ulama
baik secara pribadi maupun organisasi seperti muktamar, mulai mencoba
mendefinisikan terorisme dalam perspektif Islam. Seperti Muktamar ke-16 Rabithah ‘Alam Al-Islamy (OKI) di Makkah al-Mukarramah tahun 1422 H, begitu pula Majma’ Buhuts Al-Islamiyah Universitas Azhar di Kairo, dll. Pada umumnya mereka semua sepakat bahwa yang dimaksud dengan terorisme adalah: “Tindakan
kriminal atau aniaya, baik dilakukan oleh individu, kelompok, ataupun
suatu negara, yang menyebabkan kerusakan dan rasa takut dengan
menggunakan senjata tertentu, untuk tujuan yang bertentangan dengan
syariat.” (1)
Jadi jelas bahwa dari sisi pelaku,
tindakan terorisme tidak hanya berasal dari individu atau kelompok,
tetapi sebuah negara, atau koalisi beberapa negara juga bisa terlibat
dalam aksi terorisme.
Hakikat Jihad
Sebagian umat Islam kurang memahami esensi jihad, utamanya mereka yang memiliki ghirah
dan semangat keislaman yang tinggi namun minim dalam ilmu syariat yang
lurus. Akibatnya, sebagian mereka terjebak dalam permainan pihak
tertentu, lalu dengan sengaja atau tidak melakukan aksi terorisme atas
nama jihad. Maka, seyogianya umat Islam khususnya generasi muda lebih
mendalami lagi fikih jihad sesuai tuntunan al-Quran dan sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Jihad secara etimologi berarti mengerahkan segenap usaha dan kemampuan.
Secara terminologi jihad diartikan
dengan: “Mengerahkan segenap usaha dan kemampuan dalam memerangi orang
kafir dan mencegah serangan mereka, dengan harta, jiwa, dan lisan.”
Dan dalam definisi ulama mazhab Hanafi
disebutkan, jihad adalah: “Menyeru manusia kepada agama yang haq
(Islam), dan memerangi siapa saja yang menolaknya dengan harta dan
jiwa.” (2)
Macam-macam jihad
Jihad dalam Islam terbagi menjadi dua:
- Jihad Daf’ (jihad defensif), yaitu: jihad melawan orang-orang kafir yang menyerang negara Islam. Hukum jihad ini adalah fardhu ‘ain/wajib atas setiap muslim yang mampu.Jihad juga menjadi fardhu ‘ain dalam tiga hal berikut:
- Bertemunya dua pasukan (Islam Vs Kafir) dan tidak ada jalan lain selain berperang. Maka hukum jihad menjadi fardhu ‘ain bagi setiap muslim yang ada dalam pasukan tersebut.
- Apabila orang-orang kafir menginvasi/menjajah suatu negeri muslim, maka wajib bagi setiap penduduk negeri itu untuk melawan mereka.
- Apabila imam/pemimpin negara Islam memerintahkan seseorang atau suatu kaum untuk berjihad, maka jihad bagi mereka menjadi fardhu ‘ain.
Dalam jihad ini,
diharuskan ada izin Imam/pemimpin jika hal itu memungkinkan, tetapi jika
tidak mungkin karena pertimbangan tertentu, maka boleh melakukan jihad
defensif tanpa izin imam.
- Jihad Thalab (jihad ofensif), adalah: ” Memerangi kaum kafir harby (mereka yang tidak memiliki perjanjian apapun dengan kaum muslimin) di negeri mereka, agar mereka tunduk kepada hukum Islam”. Jihad ini biasa disebut dengan al-Fath/expansi atau penaklukan. Dalam sejarah Islam, jihad ini dilakukan sebagai bentuk balasan atas perbuatan teror mereka terhadap kaum muslimin, atau atas permintaan penduduk negeri tersebut yang merasa dizalimi oleh pemerintahnya. Pada kondisi ini, mereka hanya memiliki tiga pilihan; masuk Islam, membayar jizyah (upeti), atau diperangi.
Jihad ini hukumnya fardhu kifayah,
jika sebagian kaum muslimin telah melaksanakannya, maka jatuhlah
kewajiban dari sebagian yang lain. Dan jihad ini tidak boleh dilakukan
tanpa izin imam.
Dalam kedua bentuk
jihad ini, tentara Islam dilarang membunuh mereka yang tidak punya andil
dalam peperangan, seperti orang tua renta, wanita, anak-anak, dan para
ahli ibadah yang menyendiri di tempat ibadahnya. Diharamkan pula
mutilasi, baik sebelum peperangan maupun sesudahnya, begitu pula merusak
kepentingan umum tanpa alasan yang benar. Dan masih banyak lagi
adab-adab jihad yang harus ditaati oleh setiap prajurit muslim. (3)
Dari definisi dan klasifikasi di atas,
perbedaan antara jihad dengan tindakan terorisme sangat jelas, walaupun
dengan mengatasnamakan jihad. Mengaitkan jihad dengan tindakan terorisme
adalah propaganda musuh-musuh Islam untuk menghapus syariat ini dari
kamus agama kaum muslimin.
B. Macam-macam Terorisme dalam Perspektif Islam.
Terorisme berdasarkan makna dasarnya dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
- Terorisme terpuji.
Bentuk ini lebih tepat disebut sebagai
tindakan preventif, yakni melakukan persiapan di segala bidang,
khususnya bidang militer, dengan memperkuat pertahanan dan mengumpulkan
senjata dengan tujuan menakut-nakuti negara-negara kafir yang melampaui
batas dan para penjajah, agar tidak berani mengusik keamanan apalagi
menyerang negara-negara Islam.
Juga untuk mencegah para penjahat serta
para pelaku dosa dan maksiat, serta memberi mereka pelajaran dan menjaga
kesejahteraan umat muslim dan manusia pada umumnya. Termasuk dalam
bentuk ini apa yang dikenal dengan istilah al-Muqawamah,
yakni perlawanan yang dilakukan oleh rakyat yang terjajah dan
tertindas, seperti perlawanan rakyat Palestina, Irak, Afghanistan,
Chechnya, Syiria, dan sebagainya, terhadap para teroris dan penjajah
internal maupun eksternal.
Allah Ta’ala berfirman:
“Dan siapkanlah untuk menghadapi
mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang
ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan
musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak
mengetahuinya, sedang Allah mengetahuinya.” (QS. Al-Anfal: 60).
Hal ini disebut sebagai tindakan teror
bila dilihat dari dampaknya bukan dari bentuk perbuatannya, yaitu
terciptanya rasa takut yang amat luar biasa di kalangan orang-orang
kafir, bahkan mereka lebih takut kepada kaum muslimin dari pada kepada
Allah Ta’ala, Allah berfirman :
“Sesungguhnya kamu lebih ditakuti
daripada Allah dalam hati mereka. Yang demikian itu karena mereka adalah
kaum yang tiada mengerti.” (QS. Al-Hasyr: 13).
Maka wajib bagi negara-negara Islam
untuk mempersiapkan apa saja yang mereka bisa, untuk menghadapi musuh
demi menjaga keamanan dan kesejahteraan umat muslim dan manusia umumnya.
- Terorisme Tercela
Terorisme tercela dapat dikelompokkan ke dalam tiga bagian utama, yaitu:
Pertama: Penjajahan, Ihtilal/pencaplokan wilayah, dan penindasan.
Tindak terorisme ini sangat bertentangan
dengan hukum Islam, bahkan hukum semua agama, hukum dunia, dan hak
asasi manusia. Tapi dalam kenyataannya mereka tidak pernah dicap sebagai
teroris.
Kedua: Hirabah/Penyamun
Terorisme dalam bentuk ini dilakukan
dengan cara mengancam, mencegat, dan merampas harta para pengguna jalan.
Baik bertujuan merampas harta mereka saja, atau merampas harta disertai
menyakiti dan membunuh, baik menggunakan senjata atau tidak.
Merekalah yang dimaksud dalam firman Allah:
“Sesungguhnya pembalasan terhadap
orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di
muka bumi, hanyalah dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki
mereka secara terbalik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya).
Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan
di akhirat mereka memperoleh siksaan yang besar.” (QS. Al-Maidah: 33).
Imam Ibnu Katsir berkata, “Dan pendapat
yang paling tepat adalah: Bahwa ayat ini bersifat umum, mencakup kaum
musyrik dan siapa saja yang mengikuti perbuatan teror mereka.” (4)
Ketiga: Al-Baghyu (pemberontakan) terhadap pemerintahan Islam.
Keempat mazhab fikih memberikan definisi berbeda pada tindakan ini, namun mereka sepakat bahwa bughat
adalah kelompok yang menentang dan memberontak terhadap pemerintahan
yang sah sesuai syariah. Kemudian para ulama empat mazhab memberikan
syarat-syarat yang berbeda pula terhadap tindakan ini. Intinya, suatu
tindakan disebut sebagai pemberontakan bila memenuhi lima syarat utama,
yaitu:
- Perbuatan mereka dilandasi takwil yang memiliki sisi kebenaran.
- Adanya pemimpin yang ditaati di antara mereka.
- Bentuk keluarnya dari ketaatan imam adalah perbuatan, bukan sekedar ucapan.
- Pemberontak memiliki kekuatan dan pengaruh.
- Berkomplotan dan mengadakan perlawanan.
Syariat Islam memerintahkan imam kaum
muslimin untuk memerangi pemberontak, setelah diberi nasihat, sampai
mereka kembali patuh dan taat kepada pemerintahan Islam. Allah Subhanahu
wata’ala berfirman:
“Jika ada dua golongan dari
orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika
salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang
lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga
golongan itu kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah
kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan
adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
berlaku adil.” (QS. Al-Hujurat: 9).
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barang
siapa keluar dari ketaatan (kepada pemimpin) dan keluar dari jamaah
kaum muslimin, kemudian dia mati, maka ia mati secara jahiliah. Barang
siapa berperang di bawah bendera kesesatan, marah karena asas fanatisme,
dan berperang didasari fanatismenya, maka dia bukan termasuk dari
golongan umpatku. Barang siapa keluar dari umatku dan memerangi orang
baik dan orang jahat, tanpa membedakan antara orang mukmin dan yang
lain, serta tidak memedulikan orang kafir yang diberi jaminan keamanan,
maka dia bukan termasuk dari golonganku.” (5)
Hukum Terorisme Tercela
Ketiga bentuk ini, dan bentuk-bentuk
teror lain yang serupa dengannya hukumnya haram dalam syariah Islam.
Berdasarkan dalil-dalil dari al-Quran dan hadits shahih. Di antaranya
dalil-dalil yang telah disebutkan di atas, dan berdasarkan pada
ijma’/konsensus ulama Islam: bahwa menumpahkan darah kaum muslimin haram
hukumnya, kecuali dengan cara yang benar sesuai penjelasan Allah dan
RasulNya. (6)
Terorisme ini, termasuk salah satu dari
dosa-dosa besar yang dapat merusak dan menghapuskan amal baik pelakunya.
Syariat Islam telah menetapkan hukuman yang adil bagi mereka, baik
pelaku, perencana, donatur, dan semua pihak yang terlibat dalam aksi
tersebut. Tujuannya, agar mereka mendapat balasan setimpal di dunia, dan
azab yang besar di akhirat, sebagai pelajaran bagi segenap manusia agar
jangan sampai mengikuti jejak mereka. (7)
C. Sanksi Bagi Para Teroris
Sanksi yang dijatuhkan kepada para
teroris disesuaikan dengan tingkat teror yang dilakukan oleh
masing-masing oknum. Yaitu dengan membedakan antara pelaku, penyusun
rencana, donatur, pesuruh, dan orang yang hanya ikut-ikutan. Juga dengan
membedakan antara terorisme dalam bentuk penjajahan, penyamun (dengan
berbagai tingkatannya), pemberontakan, dan bentuk terorisme lainnya.
Semuanya terdapat dalam al-Quran dan sunnah, dan telah dijelaskan oleh
para ulama dalam kitab-kitab mereka. (8)
Penjatuhan sanksi bagi mereka yang
diduga sebagai teroris harus melalui proses pengadilan syariat tanpa
kezaliman. Yaitu, dengan melakukan investigasi, pengumpulan bukti,
penangkapan, untuk kemudian dihadapkan ke meja pengadilan dan diadili
sesuai dengan hukum Islam. Tidak dibenarkan melontarkan tuduhan
terorisme kepada seseorang tanpa bukti nyata yang dapat dipertanggung
jawabkan di depan hukum, karena hal ini dapat merusak citra diri seorang
muslim, dan menyematkan label hina yang akan ia sandang selama
hidupnya, bahkan akan diwarisi pula oleh anak cucunya. Apalagi jika
tidak ada bukti, atau bukti yang hanya dibuat-buat dan dipaksakan.
__________________________
(1). Al-Muthliq, DR. Abdullah bin Muthliq, Al-Irhab wa Ahkamuhu Fii al-Fiqhi al-Islami, h. 131
(2). Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaily, Al-Fiq al-Islamy wa Adillatuhu, jilid VIII, h. 1-2.
(3). Dapat dilihat pada wasiat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada para panglima mujahidin
setiap beliau akan mengutus mereka ke medan pertempuran, dalam hadits
yang diriwayatkan oleh Sulaiman bin Buraidah dalam shahih Muslim, jilid
V, h. 139, no. 4619.
(4). Ibnu Katsir, Tafsir Al-Quran Al –’Azhim, jilid II, h. 67.
(5). HR. Imam Muslim, jilid VI, h. 21,no. 4894.
(6). Al-Fasi, Ali bin Qaththan, Al-Iqna’ Fi Masa`il al-Ijma’, jilid IV, no: 1916-1919.
(7). Dikutip dari hasil seminar Rabithah
Alam Al Islamy di Kota Makkah Al Mukarramah, yang berlangsung mulai
dari tanggal 19 s/d 23 Syawal 1424 H, bertepatan dengan tanggal 13 s/d
17 Desember 2003, poin ke-6.
(8). Yang ingin mengetahui lebih dalam
tentang tema ini, dapat membaca buku “Terorisme dan hukumnya dalam Fiqih
Islam, karya DR. Abdullah bin Muthliq Al-Muthliq.
(Sumber: MarkazInayah.com)