Jumat, 16 Desember 2016

Sebuah Ayat Al-Qur'an Yang Melarang Mengikuti Hari Raya Non Muslim

oleh : Abu Afnan غفر الله له ولوالديه

Kemuliaan seorang muslim terdapat pada agamanya karena dengan agamanyalah dia telah melepaskan dirinya dari jeratan kehinaan dan belenggu kegelapan yang menimpa semua umat manusia yang belum sempat mendapatkan cahaya islam.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“ Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan.”(Surat Al An’am :122)

Ya hanya dengan islam inilah manusia menjadi makhluk termulia, tanpa islam maka manusia layaknya hanyalah seorang mayat yang berjalan di atas muka bumi.

Sehingga bisa dikatakan bahwa sesuatu yang paling mahal di dalam diri seorang muslim adalah Aqidah islamnya. Aqidah islam inilah perhiasan yang paling berharga baginya.

Olehnya dia harus senantiasa memelihara perhiasan tersebut agar tidak sampai terkotori oleh perbuatan-perbuatan yang bisa menurunkan  "nilai jualnya" disisi Allah Subhanahu wa Ta’ala apalagi sampai hilang sama sekali wal ‘iyazu billah .

Fenomena lata dan ikut-ikutan merayakan atau turut memeriahkan hari raya agama lain merupakan salah satu diantara sekian banyak ancaman yang mengintai dan melanda kaum muslimin.

Bagaimana tidak , fenomena tersebut bisa merenggut seketika perhiasan yang sangat berharga bagi kaum muslimin yaitu aqidah mereka. 

Jauh sebelumnya sekitar 14 abad lalu nabi kita yang mulia Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam  telah menperingatkan ummatnya agar tidak lata dengan ajaran agama lain .

Dari Abu Said Al Khudri radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :”Sungguh-sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal & sehasta demi sehasta, sampai seandainya mereka masuk ke lubang biawak, niscaya kalian akan masuk pula ke dalamnya.

Kami tanyakan: “Wahai Rasulullah, apakah mereka yg dimaksud itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau berkata: “Siapa lagi kalau bukan mereka?” (HR. Bukhori, Kitab Al I’tishom bilkitabi wassunnah, No.7320)

Berkata Ibnu Batthol : "Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan bahwa ummatnya sebelum hari kiamat akan mengikuti perkara-perkara yang baru dan perbuatan bid’ah dan mengikuti hawa nafsu sebagaimana ummat-ummat seperti Persia dan Romawi yang membuat agama kebanyakan orang berubah.” (Kitab Syarah Shohih Al Bukhori karya Ibnu Batthol, jilid 10Hal.366).

Pemandangan yang biasa kita lihat dijalan-jalan ataupun di supermarket atau ditempat lainnya yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin seperti terompet, pohon natal, pakaian santa, topi kerucut, tukar coklat dan yang lainnya...tidak bisa diragukan lagi, merupakan bentuk lata terhadap ajaran agama lain dan yang lebih parah lagi adalah ikutnya sebagian kaum muslimin dalam acara perayaan-perayaan agama lain.

dan persoalan yang terakhir ini yang akan kami bahas dalam tulisan ini berdasarkan sebuah dalil dari al qur’an –biidznillah- melihat bahayanya persoalan tersebut dan masih banyaknya kaum muslimin yang terjatuh di dalamnya .

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :”Barang siapa yang menyerupai suatu kaum maka dia telah menjadi bagian dari mereka”.(HR.Abu Daud,Kitabullibas,Hal.721,No.4031,Syekh Al Albani mengatakan Hadits Hasan Shohin).

Berkata Ibnu Taimiyah dalam Karya beliau Iqtidho as Shirotil mustaqim  : “ dan Hadits ini paling minimal kondisinya : ia menunjukkan keharaman menyerupai mereka(yaitu orang kafir,) walaupun  dhohirnya menunjukkan akan kekafiran orang yang menyerupai mereka, dan ini seperti firman Allah : “dan barang siapa yang menjadikan mereka pemimpin maka sesungguhnya mereka telah bagian dari mereka”.

Lebih lanjut beliau mengatakan : “ dan bisa juga kita artikan hadits ini dengan menyerupai mereka secara muthlak(menyeluruh) maka yang ini mengharuskan kekafiran orang tersebut, dan semua unsur-unsur penyerupaan tersebut hukumnya haram, dan bisa juga dimaknai bahwa mereka akan menjadi bagian dari mereka dalam hal-hal yang diserupai  kalau hal itu perbuatan kafir maka orang ini pun kafir, kalo itu maksiat atau simbol mereka maka dia mengikuti hukum hal-hal tersebut.”

Sebuah ayat yang mulia patut kita renungkan bersama :

Firman Allah subhanahu wa ta’ala : “ Dan orang-orang yang tidak menghadiri persaksian palsu”.(al Furqon:72)

Ayat ini merupakan bentuk pujian kepada orang beriman yang digelari oleh Allah subhanahu wata’ala sebagai ‘Ibadurrahman dengan menyebutkan beberapa karakteristik mereka dan diantaranya adalah ayat ini.

Kalau kita merujuk keterjemahan mushaf-mushaf Indonesia maka kita akan dapatkan ; “ dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu”. dan tidak bisa dipungkiri bahwa itu memang salah satu tafsiran sebagian ulama seperti Ali bin Abi Tholhah dan Muhammad bin ‘Ali (lihat Tafsir al Jami’ li Ahkamil Qur’an, karya Al Qurtubi,jilid 15, Hal.485).

Namun pendapat yang dirojihkan oleh Imam Ahli Tafsir Ibnu Katsir adalah pendapat yang pertama yaitu pendapat yang mengatakan : “Dan orang-orang yang tidak menghadiri persaksian palsu”, (lihat tafsir Ibnu Katsir,Jilid 10,Hal 331)

dan ini pulalah pendapat yang dipilih oleh guru beliau Ibnu Taimiyah.

Beliau berkata : “Dan sebagian ulama mengatakan bahwa maksud dari syahadatuzzur adalah persaksian dusta,

dan ini kurang tepat karena Allah ta’ala berfirman :
(((لا يشهدون الزور)
"tidak menghadiri kedustaan" dan tidak mengatakan  ((لا يشهدون بالزور)) tidak menyampaikan persaksian dusta – dengan memakai huruf jar- .

dan ketika berkata : شهدت كذا
artinya : saya telah meghadiri, seperti perkataan Ibnu Abbas :

((شهدت العيد مع رسول الله صلى الله عليه وسلم وعلى آله وسلم ))
 
“ saya telah menghadiri hari raya (i’ed) bersama rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam”

dan perkataan Umar :
((الغنيمة لمن شهد الوقعة ))
“ ghonimah (harta rampasan) bagi orang yang menghadiri perang) dan konteks seperti ini banyak digunakan dalam bahasa Arab.

Adapun kata شهدت بكذا maka artinya saya telah mengabarkan sesuatu  (lihat kitab Iqtidho as Shirotil Mustaqim karya Ibnu Taimiyah, Jilid1, hal.428).

Nah pertanyaannya apa maksud dari ‘persaksian palsu’ yang dilarang untuk dihadiri?

Beberapa ulama tabi’in seperti Ibnu sirin, Mujahid, Ar Rabi’ bin Anas, Ad Dhohhak menafsirkan “persaksian palsu” di ayat tersebut dengan “hari raya orang-orang musyrik” sebagaimana disebutkan dalam tafsir Ibnu Katsir (lihat tafsir Ibnu Katsir,Jilid 10,Hal 331)

Adapun Ibnu 'Asyur beliau lebih memilih memaknai ‘persaksian palsu’ lebih umum,

beliau berkata  : “ ayat ini bisa bermakna : bahwasanya mereka tidak menghadiri acara-acara kebathilan yang dihadiri oleh kaum musyrikin seperti majelis-majelis kelalaian, nyanyian dan ghibah dan sebagainya, demikian pula hari raya kaum musyrikin dan permainan-permainan mereka.(lihat tafsir At Tahrir wat Tanwir karya Ibnu ‘Asyur,jilid 19,Hal.78).

Dan tentu tafsiran Ibnu ‘Asyur tidak bertentangn dengan tafsiran sebelumya karena telah tercakup didalamnya hari raya orang musyrik dan khilaf ini bisa dikategorikan kedalam ikhtilaf tanawwu’ ( perselisihan fariatif).

Pendapat yang serupa juga diutarakan oleh Ibnul ‘Arabi, beliau berkata : “ artinya mereka tidak menghadiri (acara) kedustaan dan kebathilan dan tidak pula menyaksikannya, dan arti kata ‘zuur’ : semua jenis kebathilan adalah zuur dan kata-kata yang dipoles(hingga menyelisihi kebenaran), dan yang paling besar adalah Syirik dan pengagungan sesembahan-sesembahan selain Allah, dan pendapat ini adalah pendapat Ad Dhohhak, Ibnu Zaid dan Ibnu Abbas.” (lihat Tafsir AL Jami’ Li Ahkamil Qur’an karya Imam Al Qurthubiy,jilid 15,Hal.484).

Berkata Ibnu Taimiyah : “ oleh karenanya terkadang ulama salaf menafsirkannya dengan sesuatu yang kelihatan baik dari dhohirnya disebabkan adanya syubhat atau syahwat padahal pada hakikatnya dia adalah sesuatu yang buruk. Maka syirik dan semisalnya akan kelihatan baik dari dhohirnya karena adanya syubhat, nyanyian juga akan kelihatan baik dari dhohirnya karena adanya syahwat.

Dan adapun hari raya orang-orang musyrik maka telah tergabung di dalamnya syubhat dan syahwat, syubhat karena dia adalah kebathilan karena tidak adanya manfaat untuk agama (seseorang) dan syahwat karena didalamnya terdapat kelezatan-kelezatan sesaat yang ujungnya adalah kesengsaraan, maka pantaslah hari raya tersebut disebut Zuur dan menghadirinya adalah bentuk persaksian terhadapnya. (lihat kitab Iqtidho as Shirotil Mustaqim karya Ibnu Taimiyah, Jilid1, hal.430)

Berdasarkan pemaparan di atas maka makna ayat didalam surat Al Furqan adalah dan orang-orang yang tidak mendatangi hari raya kaum musyrikin ataupun agama lain karena didalamnya terdapat kebathilan-kebathilan khususnya yang menyentuh masalah aqidah dan yang paling besar adalah adanya persaksian yang paling dusta yaitu persaksian akan adanya sesembahan selain Allah.

Wallahu a'lam

Selengkapnya ...

Jumat, 02 Desember 2016

Akhir 4 Kasus Penistaan Agama Sebelum Ahok

Akhir 4 Kasus Penistaan Agama Sebelum Ahok


Oleh: Syamsuar Hamka

Meski sedikit menurun, tensi pemberitaan media terkait kasus penistaan agama oleh Gubernur non aktif DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok belum juga reda. Hal itu disebabkan tuntutan dari berbagai elemen umat islam di bawah koordinasi Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI atau GNPF-MUI belum sepenuhnya ditunaikan. Sebab selain menjadikan tersangka, Ahok juga dituntut sesuai Hukum Yurisprudensi yang berlaku juga sama dengan kasus sebelumnya dalam penistaan agama, yaitu ditahan.

Beberapa kasus diantaranya adalah Lia Aminuddin yang mengaku sebagai Malaikat Jibril, Ahmad Musadeq yang mengaku sebagai Nabi, Permadi dan begitu pula kasus Arswendo Atmowiloto.
Bagaimana akhir dari keempat kasus penistaan agama ini? Mari simak penjelasannya.

Pertama, Lia Aminuddin, atau yang akrab dipanggil Lia Eden pernah membuat gempar. Pada Agustus 1999 silam, Lia bersama 75 orang jemaahnya, atau yang dikenal dengan Jamaah Salamullah melakukan ritual memerangi Ratu Pantai Selatan Nyi Roro Kidul. Ritual di bibir pantai Pelabuhan Ratu, Sukabumi, itu disebut Lia untuk membinasakan Nyi Roro Kidul, yang mereka anggap lambang kemusyrikan. Selain itu, pada Perayaan Natal 1999 ia mengirim sapaan selamat Natal lewat pos, yang dikirim ke 300 gereja di Indonesia. "Ini untuk mengurangi ketegangan SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan)," kata Lia seperti dilansir tempo (http://m.tempo.co/read/news/2015/06/06/078672566/Begini-Perjalanan-Metamorfosa-Lia-Eden).
Memasuki periode tahun 2000 Lia pun dijebloskan ke penjara atas ajaran yang dianutnya. Ia yang mengaku pernah bertemu Bunda Maria, mendapat vonis Pertama, pada 29 Juni 2006 Pengadilan Negeri Jakarta Pusat selama dua tahun penjara. Lia terbukti bersalah karena telah menodai agama, melakukan perbuatan tak menyenangkan, dan menyebarkan kebencian. Kali kedua, giliran pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 2 Juni 2009 menjatuhkan hukuman penjara 2 tahun 6 bulan kepadanya. Dia dinilai terbukti melakukan penistaan dan penodaan agama.

Penodaan seperti apa? Dalam penjelasan Lembaga Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam diperoleh beberapa fakta bahwa, Lia mengaku mendapat wahyu dalam bahasa Indonesia dan setiap wahyu itu turun ditulis oleh seorang penulis wahyu yang senantiasa siap di depan komputer rumahnya di Bungur. Begitu selesai ditulis, wahyu-wahyu itu di-print out dan dikirimkan kepada seluruh organisasi Islam dan Pondok Pesantren di seluruh Indonesia. Selain itu, Lia Eden mengaku bersuami dengan Malaikat Jibril yang tinggal di Surga Eden dan senantiasa berhubungan suami istri (seperti manusia) dengan Malaikat Jibril di rumahnya di Bungur Jakarta. Kesemua itu tentu adalah ajaran yang keliru. Dan kesemuanya bermuatan penistaan agama karena mengambil simbol-simbol agama yang diakui di Indonesia, yaitu Islam.

Hampir sama dengan Lia Eden, kasus kedua adalah kasus Ahmad Musadeq juga dipenjarakan karena penistaan agama Islam. Ahmad Musadeq adalah mantan pimpinan aliran Al-qiyadah Al Islamiyah yang populer pada 2006 lalu karena mengaku diri sebagai rasul. Dia mengaku mendapatkan wahyu saat sedang bersemedi dan melaporkan hal ini kepada teman-temannya. Dia juga mengaku bertemu dengan malaikat Jibril dan diangkat menjadi rasul untuk membawa risalah yang baru. Ia menyatakan bahwa ajaran yang dibawanya adalah Millah Abraham yang merupakan sebuah komunitas ajaran yang dianggap sesat lewat Fatwa MUI karena mencampuradukkan ajaran Islam, Nasrani dan Yahudi. (http://atjehpost.co/ berita2/read/Cerita-Ahmad-Musadeq-dan-Alirannya-yang-Sering-Berubah-Nama-18640).

Terakhir, gerakan Ahmad Musadeq bermetamorfosa menjadi Gafatar, atau Gerakan Fajar Nusantara. Namun tidak berlangsung lama, Senin, 30 Mei 2016, setelah menghimpun barang bukti, Kepolisian Republik Indonesia berhasil menangkap dan memenjarakan tiga tersangka kasus makar dan penistaan agama yang dilakukan Gafatar ini. Ahmad Musadeq bersama Mahful Muis Tumanurung dan Andri Cahya yang merupakan anak Musadeq sendiri telah melakukan makar karena diduga berencana mendirikan Negeri Karunia Tuhan Semesta Alam dan menistakan agama. Berbagai barang bukti yang disita ini terdapat beberapa keping VCD dokumentasi deklarasi negara di daerah, akta akidah, akta pengorbanan, hingga tabloid Gafatar. Ada juga 15 unit laptop, telepon seluler, dan beberapa buku yang wajib dibaca oleh para pengikut Gafatar. Ia dan dua terlapor lainnya dijebloskan ke dalam penjara setelah berubah status menjadi tersangka.

Lain halnya dengan kasus ketiga, Kasus Permadi. Dalam sebuah unggahan video yang berdurasi beberapa menit itu, seorang Lelaki berumur mengungkapkan pernyataan tentang Kasus Ahok. Video yang sempat menjadi viral di media sosial tersebut berisi pernyataan Permadi yang mengaku juga pernah dijebloskan ke penjara karena menistakan agama.

Bagaimana sampai ia ditahan? Seperti dilansir panjimas.com, Permadi mengungkapkan kesepakatannya dengan rekannya, Rafly Harun yang menyatakan bahwa “Hanya ada satu diktator di dunia ini yang baik, yakni Nabi Muhammad. Karena bukan untuk kepentingan pribadi dan golongannya tapi untuk umatnya.” Permadi yang mendengarkan penyataan itu pun pun langsung bilang, “Saya sependapat dengan anda, Nabi Muhammad adalah diktator yang baik seperti yang anda katakan,”. Akan tetapi, yang terjadi kemudian adalah peristiwa itu disebar dalam rekaman yang dipotong-potong. Ucapan Rafly Harun dihilangkan, dan yang ada hanya jawaban Permadi, “Nabi Muhammad Diktator.” Penggalan itu pun Disebarluaskan ke umat Islam dan akhirnya menuai protes keras. Ribuan umat Islam datang ke Kejaksaan Agung, dan ke rumah Permadi sambil membawa poster yang bertuliskan “Tangkap Permadi”, “Gantung Permadi”, “Darah Permadi Halal”, dan akhirnya ia pun langsung ditangkap dan dipenjara.” (lihat: http://www.panjimas.com/news/2016/11/21/inilah-cerita-permadi-saat-dirinya-ditangkap-atas-kasus-penistaan-agama/)

Kasus tersebut mirip dengan kasus keempat, Kasus Arswendo. Menurut penuturan ahli hukum pidana, Teuku Nasrullah seperti dilansir Hidayatullah.com, Arswendo juga sebenarnya tidak sengaja menista dan membuat kegaduhan umum. Kasus Arswendo Atmowiloto pada tahun 1990 terjadi saat ia (Arswendo) membuat polling di Tabloid Monitor, siapa tokoh idola menurut para pembacanya. Menurut hasil polling yang dirilis tabloid itu, nama Presiden Soeharto berada di urutan pertama. Disusul kemudian dengan nama BJ Habibie, Soekarno, lalu musisi Iwan Fals. Nama Arswendo masuk ke dalam urutan ke-10, sementara Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam berada pada urutan ke-11. Hal ini kembali menuai reaksi dari umat Islam. Muncul kemarahan dan ia pun dilaporkan atas tuduhan penghinaan kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam. Meski Arswendo berkilah, bahwa ia tidak punya maksud atau sengaja menghina Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, namun ia tetap dijatuhi hukuman 4 tahun penjara. Hal tersebut menurut Nasrullah, adalah karena faktor kesengajaan dalam pasal penistaan agama bukan kesengajaan dalam maksud. Tapi kesengajaan yang dapat diduga mengetahui bahwa perbuatannya menista agama dan mengganggu ketertiban umum. Arswendo dihukum karena patut mengetahui perbuatannya mengganggu ketertiban umum. “Sebab, pasal 156 ada di bawah Bab Ketertiban Umum. Penistaan agama tidak di bawah pasal agama tapi di bawah Bab Ketertiban Umum. Ini tentang ketertiban umum. Setiap orang harus menjaga ketertiban umum,” ujar Nasrullah. (lihat: http://www.hidayatullah.com/ berita/nasional/read/2016/11/11/104895/arswendo-mengaku-tak-sengaja-menista-agama-tapi-dihukum-4-tahun-penjara.html).

Jika melihat ke-empat kasus Penistaan di atas, maka seharusnya apa yang menimpa Gubernur Non Aktif DKI Jakarta, BTP alias Ahok haruslah juga diterapkan sama. Sebab keempat-empatnya ditahan oleh Kepolisian saat statusnya menjadi Tersangka. Hal itu, dalam logika sehat kita bahwa hukum adalah instrument tertinggi dalam menegakkan keadilan. Keadilan tidaklah melihat siapa pun. Sebab semua sama di mata hukum. Supremasi hukum harus ditegakkan. Dan Ahok juga harus merasakan apa yang telah dilakukan oleh 'pendahulunya', yang telah menista agama. (Wallahu a'lam bi as-Shawab).[]

(Penulis adalah Alumnus Program Kaderisasi 1000 Ulama DDII-Baznas 2016, Penulis Buku 'Api Tarbiyah')
Selengkapnya ...

Jumat, 18 November 2016

Ulama; Pewaris Nabi

 

Ulama Pewaris Nabi


Para ulama memiliki kedudukan yang mulia dan agung di sisi Allah. Allah telah meninggikan derajat mereka dan mengistimewakan mereka dari yang lainnya. Allah Azza wa Jalla berfirman,
“Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (Terjemahan QS. al-Mujadilah/58 : 11).

Banyak nash-nash yang menyebutkan keutamaan dan keistimewaan Ahli Ilmu. Konsekuensi dari nash-nash tersebut, adalah wajibnya menghormati dan menjunjung tinggi kehormatan para ulama. Karena mereka merupakan pewaris Nabi, penerus misi dakwah yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat Beliau radhiyallahu 'anhum.

Dalam sebuah atsar (riwayat) yang populer disebutkan, jadilah seorang alim, atau seorang penuntut ilmu, atau seorang penyimak ilmu yang baik, atau seorang yang mencintai Ahli Ilmu dan janganlah jadi yang kelima, niscaya kalian binasa.

Salah seorang ulama Salaf mengatakan: “Maha suci Allah, Dia telah memberi jalan keluar bagi kaum muslimin. Yakni tidak akan keluar dari keempat golongan manusia yang dipuji tadi, melainkan golongan yang kelima, golongan yang binasa. Yaitu seorang yang bukan alim, bukan penuntut ilmu, bukan penyimak yang baik dan bukan pula orang yang mencintai Ahli Ilmu. Dialah orang yang binasa. Sebab, barangsiapa membenci Ahli Ilmu, berarti ia pasti mengharapkan kebinasaan mereka. Dan barangsiapa yang mengharapkan kebinasaan Ahli Ilmu, berarti ia menyukai padamnya cahaya Allah di atas muka bumi. Sehingga kemaksiatan dan kerusakan merajalela. Kalau sudah begitu keadaannya, dikhawatirkan tidak akan ada amal yang terangkat. Demikianlah yang dikatakan oleh Sufyan Ats Tsauri.”

Menghormati ulama termasuk pengagungan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Musa Al Asy'ari radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

“Sesungguhnya termasuk pengagungan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, yaitu memuliakan orang tua yang muslim, orang yang hafal Alquran tanpa berlebih-lebihan atau berlonggar-longgar di dalamnya dan memuliakan penguasa yang adil.” (HR. Abu Dawud).

Ubadah bin Shamit radhiyallahu 'anhu meriwayatkan, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
“Bukan termasuk ummatku, siapa yang tidak memuliakan orang yang lebih tua, menyayangi orang yang lebih muda dan mengetahui hak-hak orang alim.” (HR. al-Hakim).

Berdasarkan nash-nash di atas, jelaslah bahwa kewajiban setiap muslim terhadap para ulama dan orang-orang shalih adalah mencintai dan menyukai mereka, menghormati dan memuliakan mereka, tanpa berlebih-lebihan atau merendahkan sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Mengolok-olok ulama dan orang-orang shalih, mengejek atau melecehkan mereka, tentu saja bertentangan dengan perintah untuk mencintai dan memuliakan mereka. Melecehkan ulama dan orang shalih, sama artinya dengan menghina dan merendahkan mereka.

Mengolok-Olok Ulama Sifat Orang Munafik

Mengolok-olok dan memandang rendah Ahli Ilmu dan orang shalih, termasuk sifat orang kafir dan salah satu cabang kemunafikan. Sebagaimana disebutkan dalam banyak ayat, diantaranya:
“Kehidupan dunia dijadikan indah dalam pandangan orang-orang kafir, dan mereka memandang hina orang-orang yang beriman. Padahal orang-orang yang bertaqwa itu lebih mulia dari pada mereka di hari Kiamat. Dan Allah memberi rezki kepada orang-orang yang dikehendakiNya tanpa batas.” (Terjemahan QS. al-Baqarah: 212)

Dalam ayat lain, Allah Azza wa Jalla menjelaskan tentang kebiasaan orang-orang munafik:
“Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan: “Kami telah beriman”. Dan bila mereka kembali kepada setan-setan mereka, mereka mengatakan: “Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok”. Allah akan (membalas) olokan-olokan mereka dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan mereka.” (Terjemahan al-Baqarah: 14-15).

Dalam ayat lain, Allah Azza wa Jalla menjelaskan pula:
“(orang-orang munafik) yaitu orang-orang yang mencela orang-orang mu'min yang memberi sedekah dengan sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekedar kesanggupannya, maka orang-orang munafik itu menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka itu, dan untuk mereka adzab yang pedih.” (Terjemahan QS. At-Taubah: 79).

Musuh-musuh Islam, diantaranya orang-orang Yahudi dan Nasrani serta orang-orang munafik yang mengikuti mereka, senantiasa berusaha menjelek-jelekkan citra ulama Islam, berusaha meruntuhkan kepercayaan umat kepada para ulama dengan sindiran-sindiran dan komentar-komentar negatif tentang ulama. Hal ini perlu diwaspadai oleh kaum muslimin. Mereka jangan sampai ikut-ikutan menjelek-jelekkan alim ulama.

Dalam Protokalat Yahudi, pada protokolar nomor 27 disebutkan sebagai berikut: Kami telah berusaha sekuat tenaga untuk menjatuhkan martabat tokoh-tokoh agama dari kalangan orang-orang non Yahudi dalam pandangan manusia. Oleh karena itu, kami berhasil merusak agama mereka yang bisa menjadi ganjalan bagi perjalanan kami. Sesungguhnya pengaruh tokoh-tokoh agama terhadap manusia mulai melemah hari demi hari.

Jadi jelaslah, setiap tindakan yang bertujuan mendiskreditkan para ulama dan tokoh agama termasuk tindakan makar terhadap agama ini. Pelakunya harus dihukum dan ditindak tegas. Pelecehan terhadap para ulama dan orang shalih ada dua:

Pertama : Pelecehan terhadap pribadi ulama.
Misalnya orang mengejek sifat-sifat tertentu yang dimiliki oleh ulama tersebut. Demikian ini hukumnya haram.
Ibnu Katsir dalam menafsirkan al-Hujurat ayat 11 menyatakan: “Allah Subhanahu wa Ta'ala melarang mengolok-olok orang lain. Yaitu merendahkan dan menghinakan mereka. Sebagaimana disebutkan sebuah hadits dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa Beliau bersabda: Sombong itu adalah menolak kebenaran dan menghinakan orang lain.”

Kedua: Mengolok-olok ulama karena kedudukan mereka sebagai ulama, karena ilmu syar'i yang mereka miliki.

Demikian ini termasuk perbuatan zindiq, karena termasuk melecehkan agama Allah. Demikian pula mengolok-olok orang shalih, orang yang menjalankan Sunnah Nabi. Allah telah menggolongkan pelecehan terhadap orang-orang yang beriman sebagai pelecehan terhadapNya. Dalam surat At Taubah, Allah berfirman (yang artinya):

“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab: “Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya kamu selalu berolok-olok?” (Terjemahan at-Taubah : 65).
Ayat ini turun berkenaan dengan perkataan orang-orang munafik terhadap para qari' “Belum pernah kami melihat orang seperti para qari' kita ini, mereka hanyalah orang-orang yang paling rakus makannya, paling dusta perkataannya dan paling penakut di medan perang.” Maka Allah menurunkan ayat tersebut.
Dalam Fatwa Lajnah Daimah disebutkan: “Mencela Islam, mengolok-olok Alquran dan As Sunnah, serta mengolok-olok orang-orang yang berpegang teguh dengannya karena ajaran agama yang mereka amalkan, seperti memelihara jenggot dan berhijab bagi wanita muslimah, maka perbuatan seperti itu termasuk kufur, bila dilakukan oleh seorang mukallaf ((orang baligh yang berakal sehat) dan harus dijelaskan kepadanya, bahwa perbuatan itu kufur. Jika ia tetap melakukannya setelah mengetahuinya, maka ia bisa jatuh kafir, karena Allah Azza wa Jalla mengatakan:

Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. (Terjemahan QS. at-Taubah: 65).

Dari penjelasan di atas, kita dapat menyimpulkan, bahwa melecehkan ulama termasuk dosa besar. Para ulama menggolongkannya sebagai perbuatan kufur dan nifak. Semoga Allah menjauhkan kita darinya.[]
Selengkapnya ...

Berita

Kajian

Koreksi

Kisah

Muslimah

Khazanah

Catatan Kecil

Opini

Dari Ummat

Dibolehkan menyebarkan konten website ini tanpa perlu izin dengan tetap menyertakan sumbernya. Tim al-Balagh Media