Gaya hidup kebanyakan anak-anak remaja sekarang jauh berbeda dengan kehidupan anak remaja dulu. Jika dulu mereka akrab dengan permainan wayang, karet, bagulik, kasti dan dende-dende dan permainan tradisional lainnya, anak-anak jaman sekarang disibukkan dengan gadget, smartphone, motor, aksesoris, dan game dan produk teknologi modern lainnya. 'Serbuan' produk tersebut membawa perubahan lifestyle (gaya hidup) dan cara pandang terjadi di kalangan anak remaja zaman ini. Zaman yang disebut sebagai globalisasi.
Bellak (dalam Fuhrmann, 1990) secara khusus membahas pengaruh tekanan media terhadap perkembangan remaja. Menurutnya, remaja masa kini dihadapkan pada lingkungan dimana segala sesuatu berubah sangat cepat. Mereka dibanjiri oleh informasi yang terlalu banyak dan terlalu cepat untuk diserap dan dimengerti. Semuanya terus bertumpuk hingga mencapai apa yang disebut information overload. Akibatnya timbul perasaan terasing, keputusasaan, absurditas, problem identitas dan masalah-masalah yang berhubungan dengan benturan budaya.
Kita Sebagai Muslim
Sebagai muslim kita sebenarnya tidak perlu mempersoalkan bagaimana sikap kita terhadap tawaran-tawaran dan efek dari globalisasi tersebut terhadap keluarga kita. Karena sebagai muslim, seharusnya kita sudah paham betul bagaimana tugas dan tanggungjawab keluarga sebagai pilar terkuat dalam unsur pranata sosial masyarakat dan bangsa. Sebagai Ayah dan ibu, kita sudah diingatkan dalam Al-Qur'an,
Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya:
"Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar." (Terjemahan QS. Luqman:13)
Dalam ayat di atas, nasihat Lukman al Hakim kepada anaknya adalah “jangan mempersekutukan Allah!”. Nasihat yang ringkas namun mengandung makna yang luas dan mendalam. Karena dalam Islam kita mengenal bahwa tauhid yang menjadi lawan dari syirik adalah perkara yang paling mendasar yang patut diketahui seorang muslim. Saking pentingnya ajaran tauhid, Nabi Yaqub di saat menjelang ajalnya hanya mempertanyakan hal tersebut kepada anak-anaknya, "Apa yang kamu sembah sepeninggalku?" (Lihat QS. al-Baqarah: 133)
Perkara inilah yang paling patut diperhatikan oleh orangtua. Bagaimana kondisi iman anak-anak mereka? Bagaimana kondisi aqidah dan keyakinan mereka di zamannya sekarang? Bukan hanya mempertanyakan bagaimana nilai matematika, ujian atau kursus dan privat bahasanya. Betapa banyak di antara kita yang rela membayar mahal guru privat untuk mengajari anak-anak kita pelajaran sekolah serta membelikannya smartphone, tapi tidak memperhatikan bagaimana akhlak dan perkembangan jiwanya. Begitu pula kemampuan baca al-Qur'an dan hafalannya.
Perilaku geng motor, hingga pembegalan sebenarnya hanyalah secuil dari dampak kemerosotan akhlak yang bersumber dari aqidah. Hilangnya mental dan jiwa yang tumbuh dalam pembinaan yang Islami. Mereka lebih sering mendengarkan nyanyian, hidup di tengah malam, serta bergaul dengan dunia tanpa aturan dalam komunitasnya. Ditambah lagi dengan solidaritas karena perasaan senasib sepenanggungan. Yang kesemuanya seharusnya diganti dengan al-Qur'an, shalat malam, puasa sunnah, dan pergaulan yang beradab.
Kita tentu sepakat, menggadaikan kehidupan anak remaja hari ini sama dengan menggadaikan kehidupan bangsa di masa yang akan datang. Karena Syubbab al yaum, Rijaalul Ghad, kata pepatah Arab. Pemuda hari ini, pemimpin esok hari.
Lalu bagaimana seharusnya langkah yang paling nyata yang bisa dilakukan? Sebagian (besar) kita mungkin menjawab kembali ke pribadi, atau kembali ke orangtua dalam keluarga masing-masing. Akan tetapi, dalam kesempatan ini, penulis mencoba memberi alternatif yang lain. Semoga bisa menjadi bahan pertimbangan.
Peran Masjid
Dalam teori pendidikan, dikenal tiga jenis lingkungan pendidikan. Keluarga (informal), masyarakat (nonformal), dan sekolah (formal). Sebenarnya masjid bisa digolongkan sebagai satu institusi pendidikan juga. Karena pendidikan di masjid memiliki keunikan yang jauh berbeda dengan lingkungan pendidikan yang lain.
Di zaman perjuangan Rasulullah shallahu alaihi wasallam, yang pertama kali beliau bangun adalah masjid, yakni masjid Quba kemudian masjid Nabawi. Dibangunnya Masjid Nabawi merupakan simbol perubahan peta perjuangan umat Islam kala itu. Di mana, Islam sudah terimplementasi dalam satu kelompok masyarakat dari segi politik, hukum dan ekonomi. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam membangun masjid. Fungsi masjid saat itu, selain sebagai tempat beribadah masjid juga berfungsi sebagai tempat pembinaan iman para jama'ahnya. Di mana Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melakukan tarbiyah dan pengembangan potensi sahabat beliau di masjid. Masjid juga adalah pusat da'wah dan kebudayaan Islam. Selain digunakan sebagai tempat beribadah, masjid juga menjadi pusat pertemuan, penyelesaian sengketa, serta pusat pemerintahan. Bahkan masjid pun pernah dijadikan sebagai tempat latihan bela diri dan latihan para sahabat. Dan yang lebih penting, masjid berfungsi sebagai pusat kaderisasi da'i dan basis kebangkitan umat.
Melihat realitas sosial sekarang, seharusnya masjid punya peran yang lebih nyata mengatasi masalah masyarakat. Hal itu tentu diawali dengan gagasan yang membutuhkan model, modul, dan modal manajemen masjid yang baik.
Kita bisa mengambil pelajaran bagaimana masjid di tengah komunitas non-muslim di Bali bisa begitu ramai shalat berjamaahnya. Namanya Masjid Baitul Makmur. Persis seperti namanya, bahkan jamaah shalat subuhnya jauh lebih banyak dari waktu shalat yang lain. Para pengurus sangat kreatif dalam mengelola masjid. Selain menghimpun dana dan infaq masyarakat, masjid ini pun menyalurkan bantuan beasiswa kepada anak yang tidak mampu. Bukan hanya muslim tapi juga non muslim. Sehingga masyarakat di sekitarnya menjadi simpati dan mendukung kegiatan-kegiatan yang diadakan pengurus masjidnya.
Demikian halnya Geng Motor. Para anggotanya sebagian besarnya adalah anggota masyarakat yang tersisih. Di mana sebagian besarnya menggandrungi tempat-tempat hiburan malam, dunia alkohol dan narkotika, menjadi penganggurann (sebagiannya) karena faktor putus sekolah, tindak kekerasan, serta kesenjangan sosial. Akibatnya, kondisi yang tidak berpihak kepada mereka menyebabkan aktualisasi diri mereka ke arah negatif karena tidak adanya pembinaan dan pengarahan dari pemerintah, orangtua, dan juga masyarakatnya.
Di sinilah sebenarnya peran masjid sebagai pusat pembinaan spiritual dan pusat penanaman aqidah tauhid yang benar setelah keluarga. Bukan hanya menyemarakkan kegiatan pada bulan Ramadhan dengan lomba bernuansa keislaman, tapi juga menyediakan program pembimbingan yang intensif kepada anak-anak. Agar arah hidup mereka jelas dan terarah dengan baik. Bukankah hal yang sangat mungkin jika sebuah masjid menyelenggarakan acara-acara yang bermanfaat dan menarik buat mereka. Dan yang paling real adalah pemberian modal kepada mereka yang pengangguran untuk memulai usaha perbengkelan?
Langkah yang paling tepat adalah memulai membicarakannya di tataran pengurus dan menyelesaikan tiga unsur dasar. Bagaimana Model pembinaannya? Bisa dilaksanakan pertemuan pekanan dalam kelompok kajian islam (Tarbiyah Islamiyah). Apa Modul dan materinya? Serta berapa dan bagaimana cara mendapatkan Modal program kerjanya? Dari tiga unsur dasar itu, saya yakin setiap masjid punya kemampuan menyiapkannya. Wallahu a'lam bi as-Shawab.[]
Oleh Syamsuar Hamka, S.Pd. (Mahasiswa Program Kaderisasi 1000 Ulama DDII-Baznas pada Fps UIKA Bogor.)
(Dimuat di Buletin Dakwah al-Balagh edisi 20 Tahun X 1436 H)
-----------------------
Mari berdakwah dengan tulisan, kirimkan tulisan Anda berupa opini, berita, artikel, kisah nyata, puisi, ke albalaghonline@gmail.com
Semoga Allah melipatgandakan atas semua amal shaleh kita.