Syiah adalah sekte yang terus berkembang mengikuti alur zaman.
Karenanya, Syiah tidak melulu berjalan di satu lintasan dan dengan satu
arah yang lurus. Jadi, adalah hal yang wajar jika kemudian Syiah juga
mengalami problem perbedaan pemikiran, yang pada gilirannya memunculkan
aneka ragam versi: Syiah Kaisaniyah, Zaidiyah, Imamiyah, Ghulat, dan
masih banyak lagi.
Merujuk pada data-data yang ada, akan cukup
jelas, jika yang menjadi pemicu utama bagi lahirnya ragam aliran dalam
Syiah ini adalah imamah, semua sekte Syiah sepakat bahwa Imam yang
pertama adalah Sayyidina Ali ra. selanjutnya adalah Hasan bin Ali, lalu
Husain bin Ali ra. Namun, setelah itu muncul perselisihan mengenai siapa
pengganti Imam Husain. Dalam hal ini, muncul dua kelompok dalam Syiah.
Kelompok pertama meyakini imamah beralih kepada Ali bin Husain Zainal
Abidin, putra Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra. dari istri beliau selain
Fathimah radhiyallahu anha.
Nah, akibat perbedaan antara kedua
kelompok ini, muncullah berbagai sekte dalam Syiah. Sebagian di antara
sekte-sekte ini sebetulnya tidak dapat disebut sekte atau aliran, karena
hanya merupakan pandangan seseorang atau sekelompok kecil yang kurang
memiliki kekuatan suara untuk diperhitungkan. Tapi, andai kita
memperhitungkan arus kecil itu, maka pernyataan bahwa sekte Syiah
terpecah pada ratusan versi (ada yang mengatakan sampai 300) adalah
benar adanya.[1] Namun demikian, para ahli pada umumnya membagi sekte
Syiah dalam empat golongan besar, yaitu Kaisaniyah, Zaidiyah, Imamiyah,
dan kaum Ghulat, sebab firqah-firqah Syiah yang mencapai jumlah ratusan
itu sejatinya bermuara dari empat kelompok besar tersebut.[2]
Syiah Kaisaniyah
Kaisaniyah
adalah sekte Syiah yang mempercayai kepemimpina Muhammad bin Hanafiyah
setelah wafatnya Sayyidina Husain bin Ali ra. Nama Kaisaniyah diambil
dari nama seorang bekas budak Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra., Kaisan,
atau dari nama Mukhtar bin Abi Ubaid yang juga dipanggil dengan nama
Kaisan.
Sekte Kaisaniyah terpecah menjadi dua kelompok. Pertama,
yang mempercayai bahwa Muhammad bin Hanafiyah sebenarnya tidak mati,
tetapi hanya ghaib dan akan kembali lagi ke dunia nyata pada akhir
zaman. Mereka menganggap, Muhammad bin Hanafiyah adalah Imam Mahdi yang
dijanjikan itu. Yang termasuk golongan Kaisaniyah antara lain adalah
sekte al-Karabiyah, pengikut Abi Karb ad-Dharir.
Kedua, kelompok
yang mempercayai bahwa Muhammad bin Hanafiyah telah meninggal, akan
tetapi jabatan imamah beralih kepada Abi Hasyim bin Muhammad bin
Hanafiyah. Yang termasuk kelompok ini adalah sekte Hasyimiyah, pengikut
Abi Hasyim. Ibnu Khaldun menengarai, bahwa dia ntara sekte-sekte
Hasyimiyah yang pecah menjadi beberapa kelompok tersebut adalah penguasa
pertama Dinasti Abbasiyah, yaitu Abu Abbas as-Saffah dan Abu Ja’far
al-Manshur. Ibnu Khladun selanjutnya menyatakan bahwa setelah
meninggalnya Abi Hasyim, jabatan imamah berpindah kepada Muhammad bin
Ali Abdullah bin Abbas kemudian secara berturut-turut kepada Ibrahim
al-Imam, as-Saffah, dan al-Mansur.
Sekte Kaisaniyah ini telah
lama musnah. Namun, kebesaran dan kehebatan nama Muhammad bin Hanafiyah
ini masih dapat dijumpai dalam cerita-cerita rakyat, sperti yang
terdapat dalam cerita-cerita rakyat Aceh dan hikayat Melayu yang
terkenal, Hikayah Muhammad Hanafiyah. Hikayat ini telah dikenal di Mekah
sejak abad ke-15 M.
Syiah Zaidiyah
Zaidiyah
adalah sekte dalam Syiah yang mempercayai kepemimpinan Zaid bin Ali bin
Husain Zainal Abidin setelah kepemimpinan Husain bin Ali ra.. mereka
tidak mengakui kepemimpinan Ali bin Husain Zainal abidin seperti yang
diakui sekte Imamiyah, karena menurut mereka, Ali bin Husain Zainal
Abidin dianggap tidak memenuhi syarat sebagai pemimpin.
Dalam
Syiah zaidiyah seseorang dapat diangkat sebagai imam apabila memenuhi
lima kriteria, yakni, keturunan Fathimah binti Muhammad SAW.,
berpengetahuan luas tentang agama, hidup zuhud, berjihad di jalan Allah
SWT. dengan mengangkat senjata, dan berani. Disebutkan bahwa sekte
zaidiyah mengakui keabsahan khilafah atau imamah Abu Bakar ash-Shiddiq
ra. (khalifah pertama) dan Umar bin Khattab ra. (khalifah kedua).
Dalam
teologi mereka disebutkan, bahwa mereka tidak menolak prinsip imamat
al-Mafdhul ma’a wujud al-Afdhal, yaitu bahwa seseorang yang lebih rendah
tingkat kemampuannya dibanding orang lain yang sezaman dengannya dapat
menjadi pemimpin, sekalipun orang yang lebih tinggi dari dia itu masih
ada. Dalam hal ini, Ali bin Abi Thalib dinilai lebih tinggi daripada Abu
Bakar dan Umar bin Khattab. Oleh karena itu, sekte zaidiyah ini
dianggap yang paling dekat dengan sunnah.
Dalam persoalan imamah,
sekte Zaidiyah ini berbeda pendapat dengan sekte Itsna Asyariyah atau
Syiah Dua Dua Belas yang menganggap bahwa jabatan imamah harus dengan
nash. Menurut Zaidiyah, imamah tidak harus dengan nash, tapi boleh
ikhtiar atau pemilihan. Dari segi teologi, penganut faham Syiah Zaidiyah
ini beraliran teologi Mu’tazilah. Oleh karena itu tidak heran kalau
sebagian tokoh-tokoh Mu’tazilah, terutama Mu’tazilah Baghdad, berasal
dari kelompok Zaidiyah. Di antaranya adalah Qadhi Abdul Jabbar, tokoh
Mu’tazilah terkenal yang menulis kitab Syarh al-Ushul al-Khamsah. Hal
ini bisa terjadi karena adanya hubungan yang dekat antara pendiri
Mu’tazilah, Washil bin Atha’, dan Imam Zaid bin Ali. Akibatnya muncul
kesan bahwa ajaran-ajaran Mu’tazilah berasal dari Ahlul Bait atau bahkan
sebaliknya, justru Zaid bin Ali yang terpengaruh oleh Washil bin Atha’,
sehingga ia mempunyai pandangan yang dekat dengan Sunnah. Sekte-sekte
yang berasal dari golongan Zaidiyah yang muncul kemudian adalah
Jarudiyyah, Sulaimaniyah, dan Badriyah atau ash-Shalihiyah.
Sekte
Jarudiyah adalah pengikut Abi Jarud Ziyad bin Abi Ziyad. Sekte ini
menganggap bahwa Nabi Muhammad SAW. telah menentukan Ali sebagai
pengganti atau Imam setelahnya. Akan tetapi penentuannya tidak dalam
bentuk yang tegas, melainkan dengan isyarat (menyinggung secara tidak
langsung) atau dengan al-washf (menyebut-nyebut keunggulan Ali
dibandingkan dengan yang lainnya).
Sekte Sulaimaniyah adalah
pengikut Sulaiman bin Jarir. Sekte ini beranggapan bahwa masalah imamah
adalah urusan kaum Muslimin, yaitu dengan sistem musyawarah sekalipun
hanya dengan dua tokoh Muslim. Bagi mereka, seorang imam tidak harus
merupakan yang terbaik di antara kaum Muslimin, oleh karena itu
sekalipun yang layak jadi khalifah setelah Nabi Muhammad SAW. adalah
Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra. akan tetapi kepemimpinan Abu Bakar dan
Umar bin Khaththab adalah sah. Hanya dalam hal ini, umat telah melakukan
kesalahan karena tidak memilih Sayyidina Ali ra. namun, mereka tidak
mengakui kepemimpinan Utman bin Afan karena menurut mereka Utsman telah
mnyimpang dari ajaran isalam. Sekte sulaimaniysah ini juga disebut
al-Jaririyah.
Sekte badriyah atau ash-Shalihiyah adalah pengikut
kaisar an-Nu’man al-Akhtar atau pengikut Hasan bin Shalih al-Hayy.
Pandangan mereka mengenai imamah sama dengan pandangan sekte
sulaimaniyah. Hanya saja dalam masalah Utsman bin Affan, sekte badriyah
tidak memberikan sikapnya. Mereka berdiam diri atau tawaqquf. Menurut
al-Baghdadi sekte ini adalah sekte Syiah yang paling dekat Ahlussunnah.
Oleh karena itu Imam Muslim meriwayatkan beberapa Hadits dalam kitabnya
Shahih Muslim dari Hasan bin Shalih al-Hayy.
Syiah Ghulat
Syiah
Ghulat (kelompok Syiah yang ekstrem) adalah golongan yang
berlebih-lebihan dalam memuji Sayyidina Ali ra. atau Imam-imam lain
dengan menganggap bahwa para imam tersebut bukan imam biasa, melainkan
jelmaan Tuhan atau bahkan Tuhan itu sendiri. Menurut al-Baghdadi, kaum
Ghukat telah ada sejak masa Ali bin Abi Thalib ra. mereka memanggil Ali
dengan sebutan “Anta, Anta”, yang berarti “Engkau, Engkau” yang dimaksud
disini adalah: Engkau adalah tuhan.
Menurut al-Baghdadi,
sebagian dari mereka sampai dibakar hidup-hidup oleh Sayyidina Ali bin
Abi Thalib ra. tetapi pemimpin mereka, Abdullah bin Saba’, hanya dibuang
ke Mada’in. Di antara mereka ada yang menyalahkan, bahkan mengutuk
Sayyidina Ali bin Abi Thalib karena tidak menuntut haknya dari penguasa
yang telah merampas haknya sebagai khalifah sesudah Nabi SAW.[3] Dalam
sebuah riwayat Syiah disebutkan bahwa ketika suatu hari Bisyar
asy-Syairi, seorang Ghulat, datang ke rumah Ja’far ash-Shadiq, Imam
Ja’far mengusirnya seraya berkata, “sesungguhnya Allah SWT. telah
melaknatmu. Demi Allah aku tidak suka seatap denganmu.” Ketika
asy-syairi keluar, Ja’far ash-Shadiq berkata kepada pengikutnya,
“celakalah dia. Ia adalah setan, anak dari setan. Dia lakukan ini untuk
menyesatkan sahabat dan Syiahku; maka hendaklah berhati-hati terhadapnya
orang-orang yang telah tahu akan hal ini hendaknya menyampaikan kepada
orang lain bahwa aku adalah hamba Allah dan anak seorang perempuan,
hamba-Nya. Aku dilahirkan dari perut seorang wanita. Sesungguhnya aku
akan mati dan dibangkitkan kembali pada hari kiamat, dan aku akan
ditanya tentang perbuatan-perbuatanku.”
Kaum Ghulat dapat
dikelompokkan ke dalam dua golongan, yaitu golongan as-Saba’iyah dan
golongan al-Ghurabiyah. Golongan as-Saba’iyah berasal dari nama Abdullah
bin Saba’, adalah golongan yang menganggap Ali bin Abi Thalib ra.
adalah jelmaan dari Tuhan atau bahkan Tuhan itu sendiri. Menurut mereka,
sesungguhnya Sayyidina Ali ra. masih hidup. Sedangkan yang terbunuh di
tangan Abdurrahman bin Muljam di Kuffah itu sesungguhnya bukanlah
Sayyidina Ali ra., melainkan seseorang yang diserupakan tuhan dengan
beliau menurut mereka, Sayyidina Ali ra. telah naik ke langit dan di
sanalah tempatnya. Petir adalah suara beliau dan kilat adalah senyum
beliau.
Adapun golongan al-Ghurabiyah adalah golongan yang tidak
se-ekstrem as-Saba’iyyah dalam memuja Sayyidina Ali ra. menurut mereka
Sayyidina Ali ra. adalah manusia biasa, tetapi dialah seharusnya yang
menjadi utusan Allah, bukan Nabi Muhammad SAW.. Namun, karena Malaikat
Jibril salah alamat sehingga wahyu yang seharusnya ia sampaikan kepada
Sayyidina Ali ra. malah ia sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW., maka
akhirnya Allah SWT. Mengakui Muhammad SAW. sebagai utusan-Nya.[4]
Syiah Imamiyah
Imamiyah
adalah golongan yang meyakini bahwa Nabi SAW. telah menunjuk Sayyidina
Ali ra. sebagai Imam penggantinya dengan penunjukan yang jelas dan
tegas. Oleh karena itu, mereka tidak mengetahui keabsahan kepemimpinan
Sayyidina Abu Bakar, Umar, maupun Utsman ra.. Bagi mereka, persoalan
imamah adalah salah satu persoalan pokok dalam agama atau Ushul ad-Din.
Syiah
imamiyah pecah menjadi beberapa golongan. Yang terbesar adalah golongan
Itsna Asyariyah atau Syiah Dua Belas. Sementara golongan kedua yang
terbesar adalah golongan Isamiliyah. Dalam sejarah Islam, kedua golonga
sekte Imamiyah ini pernah memegang puncak kepemimpinan politik Islam.
Golongan Ismailiyah berkuasa di Mesir dan Baghdad. Di Mesir golongan
Ismailiyah berkuasa melalui Dinasti Fathimiyah. Pada waktu yang sama
golongan Itsna Asyariyah dengan Dinasti Buwaihi menguasai kekuasaan
kekhalifahan Abbasiyah selama kurang lebih satu abad.
Semua
golongan yang bernaung dengan nama Imamiyah ini sepakat bahwa Imam
pertama adalah Sayyidina Ali bin Abi Thalib, kemudian secara
berturut-turut Sayyidina Hasan, Husain, Ali bin Husain, Muhammad
al-Baqir, dan Ja’far ash-Shadiq ra.. Kemudian sesudah itu, mereka
berbeda pendapat mengenai siapa Imam pengganti Ja’far ash-Shadiq. Di
antara mereka ada yang meyakini bahwa jabatan imamah tersebut pindah
kepada anaknya, Musa al-Kazhim. Keyakinan ini kemudian melahirkan sekte
Itsna Asyariyah atau Syiah Dua Belas. Sementara yang lain meyakini bahwa
imamah pindah kepada putra Ja’far ash-Shadiq, Ismail bin Ja’far
ash-Shadiq, sekalipun ia telah meninggal dunia sebelum ash-Shadiq
sendiri. Pecahan ini disebut Ismailiyah sebagian yang lain menanggap
bahwa jabatan imamah berakhir dengan meninggalnya Ja’far ash-Shadiq
mereka disebut golongan al-Waqifiyah atau golongan yang berhenti pada
Imam Ja’far ash-Shadiq.
Sekte Itsna Asyariyah atau Syiah Dua
Belas merupakan sekte terbesar Syiah dewasa ini. Sekte ini meyakini
bahwa Nabi SAW. telah menetapkan dua belas orang Imam sebagai penerus
Risalahnya, yaitu: [5]
No. Nama dan julukan Lahir – wafat
1. Ali bin Abi Thalib al-Murtadha 23 SH – 40 SH
2. Hasan bin Ali az-Zaki 2 H – 50 H
3. Husain bin Ali asy-Syahid 3 H – 61 H
4. Ali bin Husain Zainal Abidin 38 H – 59 H
5. Muhammad bin Ali al-Baqir 57 H – 114 H
6. Ja’far bin Muhammad ash-Shadiq 83 H – 148 H
7. Musa bin Ja’far al-Kazhim 128 H – 203 H
8. Ali bin Musa ar-Ridha 148 H – 203 H
9. Muhammad bin al-Jawwad 195 H – 220 H
10. Ali bin Muhammad al-Hadi 212 H – 254 H
11. Hasan bin Ali al-Askari 223 H – 260
12. Muhammad bin al-Hasan al-Mahdi 1.255 / 256 H
Syiah
Itsna Asyariyah percaya bahwa keduabelas Imam tersebut adalah ma’shum
(manusia-manusia suci yang terjaga dari dosa, salah, dan lupa). Apa yang
dikatakan dan dilakukan mereka tidak akan bertentangan dengan
kebenaran, karena mereka selalu dijaga Allah SWT. dari
perbuatan-perbuatan salah dan bahkan dari kelupaan.
Menurut Syiah
Dua Belas, jabatan imamah berakhir pada Imam Mahdi al-Muntazhar
Muhammad bin Hasan al-Askari. Sesudah itu, tidak ada Imam-imam lagi
sampai hari kiamat. Imam Mahdi al-Muntazhar Muhammad bin Hasan al-Askari
ini, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Imam Mahdi, diyakini belum
mati sampat saat ini. Menurut mereka, Imam Mahdi masih hidup, tetapi
tidak dapat dijangkau oleh umum dan nanti pada akhir zaman Imam Mahdi
akan muncul kembali. Dengan kata lain, Imam Mahdi al-Muntazhar kini
diyakini sedang gaib.
Menurut Syiah Dua Belas, selama masa
kegaiban Imam Mahdi, jabatan kepemimpinan umat, baik dalam urusan
keagamaan maupun urusan kemasyarakatan, dilimpahkan kepada fuqaha (ahli
hukum Islam ) atau mujtahid (ahli agama Islam yang telah mencapai
tingkat mujtahid mutlak). Fuqaha atau mujathid ini harus memenuhi tiga
kriteria. Pertama, faqahah, yaitu ahli dalam bidang agama Islam. Kedua,
‘adalah, (adil), takwa, dan istiqamah (konsisten) dalam menjalankan
aturan-aturan agama. Ketiga, Kafa’ah, yaitu, yaitu memiliki kemampuan
memimpin dengan baik. Mujtahid atau faqih yang menggantikan jabatan Imam
Mahdi itu disebut na’ib al-Imam atau wakil Imam. Ayatullah Ruhullah
Khomaini, misalnya, adalah seorang na’ib al-Imam tersebut.
Sebagai
sekte Syiah terbesar, kelompok Syiah Dua Belas sebenarnya bukan
golongan Imamiyah atau golongan yang hanya memusatkan perhatian pada
persoalan imamah semata, tetapi juga merupakan golongan yang terlibat
aktif dalam pemikiran-pemikran keislaman lainnya, seperti teologi,
fikih, dan filsafat. Dalam teologi, sekte Itsna Asyariyah ini dekat
dengan golongan Mu’tazilah, akan tetapi dalam persoalan pokok-pokok
agama mereka berbeda.
Pokok-pokok agama menurut Syiah Dua Belas
ini adalah at-Tauhid (tauhid), al-‘Ad (keadilan), an-nubuwwah
(kenabian), al-imamah (kepemimpinan), dan al-ma’ad (tempat kembali
setelah mereka meninggal). Sementara dalam bidang fikih, mereka tidak
terikat pada satu madzhab fikih mana pun. Menurut sekte ini, selama masa
kegaiban Imam Mahdi, urusan penetapan hukum Islam harus melalui ijtihad
dengan berlandaskan pada al-Qur’an, hadits atau sunnah Nabi Muhammad
SAW., hadits atau sunnah Imam Dua Belas, ijma’ ulama Syiah dan akal.[6]
Akan tetapi perlu dicatat, bahwa Syiah memiliki al-Qur’an dan Hadits
sendiri, interpretasi sendiri serta cara sendiri dalam mengoperasikan
dalil-dalil tersebut, yang tidak sama dengan Ahlussunnah sebagaimana
yang akan kami jelaskan nanti.
Nama-nama Syiah Itsna Asyariyah
Sebagai
kelompok Syiah terbesar, Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah memiliki
nama-nama atau julukan-julukan populer yang beragam. Bahkan, karena
statusnya sebagai satu-satunya sekte Syiah yang masih bertahan hingga
kini dan bahkan menguasai institusi Negara, ketika kata Syiah disebut,
maka aksiomanya akan langsung menunjuk pada Syiah Imamiyah Itsna
Asyariyah ini. Nama-nama Itsna Asyariyah yang populer antara lain
adalah:
a. Syiah
Mula-mula kata Syiah diucapkan
untuk semua Firqah Syiah yang ada, namun saat ini, bila diucapkan kata
Syiah maka yang dimaksud adalah Itsna Asyariyah. [7] Golongan ini
disebut Syiah (pendukung) karena secara umum mereka mendukung Sayyidina
Ali ra. untuk menjadi khalifah setelah Rasulullah SAW..
b. Imamiyah
Penamaan
ini antara lain dapat diidentifikasi dari pernyataan salah seorang
tokoh Syiah terkemuka di zamannya Syekh al-Mufid. Ia menyatakan sebagai
berikut, “Aliran Imamiyah adalah aliran yang meyakini bahwa imamah,
‘ishmah dan nash imamah itu hukumnya wajib. Mereka memilih “imamiyah”
sebagai nama karena ketiga unsur pokok akidah Syiah ini ada dalam
kalimat tersebut. Siapapun yang mengamalkan tiga unsur pokok di atas,
maka dia disebut Imamiy (orang yang bermadzhab Imamiyah), walaupun dia
mencampur-baurkan hal-hal yang haq dengan yang bathil dalam pandangan
madzhab.” Demikian kata al-Mufid.
Kemudian faktanya, orang-orang
yang memenuhi kriteria yang disebutkan oleh al-Mufid di atas telah
terpecah belah. Para tokoh berikut pengikut yang bermuara pada tiga
unsur pokok dia atas juga telah terpecah. Sedangkan kelompok pertama
yang mengeluarkan diri dari Madzhab Imamiyah adalah kelompok
Kaisaniyah.[8]
c. Itsna ‘Asyariyah
Istilah ini
tidak dijumpai dalam literatu-literatur klasik yang mengupas tentang
sekte-sekte. Al-Qummi misalnya, tidak mencantumkan istilah ini
sedikitpun dalm kitabnya al-Maqalat wa al-Firaq. Demikian juga dengan
an-Nubakhti dalam karyanya Firaq asy-Syiah, juga al-Asy’ari dalam
maqalat al-Islamiyyin. Barang kali orang pertama dari golongan Syiah
yang menggunakan istilah ini dalam kitabnya adalah al-Mas’udi,[9]
sedangkan dari kalangan Ahlussunnah adalah Syekh Abdul Qahir
al-Baghdadi, sebab beliau mengungkapkan bahwa Syiah versi ini disebut
Itsna ‘Asyariyah karena mereka berkeyakinan jika Imam Mahdi
al-Muntadzhar merupakan Imam yang ke duabelas sejak Imam Ali
ra.[10]sementara Muhammad bin Jawwad Mughniyah (tokoh Syiah kontemporer)
juga mengukuhkan penamaan ini. Ia mengatakan bahwa Itsna ‘Asyariyah
adalah nama yang diungkapkan untuk Syiah Imamiyah yang meyakini
kepemimpinan dua belas imam.[11]
d. Al-Qath’iyah
Kata
ini juga termasuk salah satu julukan Syiah Imamiyah Itsna ‘Asyariyah.
Menurut para pemerhati sekte-sekte, seperti direkam oleh al-Asy’ari
dalam Maqalat al-Islamiyyin,[12] asy-Syahrastani dalam al-Milal wa
an-Nihal,[13] al-Isfiraini dalam at-Tabshir fi ad-Din,[14] dan
peneliti-peneliti lainnya. Syiah Itsna ‘Asyariyah disebut al-Qath’iyah
karena mereka memastikan akan kematian Musa bin Ja’far ash-Shadiq.[15]
e. Ashhab al-Intizhar
Imam
Fakhruddin ar-Razi menjuluki Syiah Itsna ‘Asyariyah dengan Ashhab
al-Intizhar, yang berarti “mereka yang menuggu”. Hal ini disebabkan
mereka meyakini jika yang berhak memegang jabatan Imam setelah Imam
Hasan al-Askari adalah putranya, yakni Muhammad bin Hasan al-askari yang
kini masih menghilang (gaib) yang selalu ditunggu-tunggu kehadirannya
di akhir zaman sebagai Imam Mahdi. Keyakinan inilah yang dianut oleh
Syiah Imamiyah hingga saat ini.[16]
f. ar-Rafidhah
Selain
sebutan-sebutan di atas, sekelompok ulama, seperti Imam al-Asy’ari
dalam Maqalat al-Islamiyyin[17] dan Ibnu Hazm dalam al-Fashl fi al-Milal
wa an-Nihal [18] juga menyebut Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah dengan
sebutan Rafidhah. Salah satu guru besar (syaikh) Syiah, yakni al-Majlisi
dalam Bihar al-Anwar juga menyebut Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah
dengan kata Rafidhah ini.
Ada beberapa pendapat yang menjelaskan
awal mula penyematan nama ini. Konon, suatu saat orang-orang Syiah
mendatangi Imam Zaid bin Ali bin al-Husain. Kemudian mereka berkata,
“Andai tuan melepaskan diri dari (mencintai) Abu Bakar dan Umar, maka
kami tetap setia bersam anda.” Lalu Zaid berkata, “Beliau berdua
merupakan sahabat kakekku, saya tetap selalu mencintai beliau berdua.”
Lalu orang-orang Syiah itu berkata, “Jika demikian, maka kami tidak akan
pernah mengiraukan anda.” Sejak itulah kemudian mereka populer dengan
sebutan Rafidhah, sedangkan orang yang tetap setia dengan Imam Zaid
disebut Zaidiyah (penganut setia Imam Zaid bin Ali bin al-Husain).
Riwayat
lain menyebutkan bahwa penyebab pemberian nama ini disebabkan mereka
telah mencampakkan (tidak menganggap) kepemimpinan Sayyidina Abu Bakar
dan Sayyidina Umar radiyallahu anhuma, sebagaiman ditegaskan oleh Imam
al-Asy’ari dalam Maqalat al-Islamiyyin.[19]
Dalam kitab-kitab
Syiah ditegaskan bahwa kata Rafidhah merupakan salah satu julukan Syiah
Imamiyah yang paling dibanggakan dan mempunyai keutamaan tersendiri.
Al-Majlisi dalam Bihar al-Anwar menjelaskan beberapa fadhilah
(keutamaan) atas pemberian nama ini untuk Syiah Imamiyah. Malah, ia
menulis sub judul “bab Fadhli ar-Rafidhah wa at-Tasmiyati bihi ” (bab
menjelaskan tentang keutamaan Rafidhah dan penamaan [Syiah Imamiyah
Itsna Asyariyah] dengannya). Kemudian al-Majlisi menampilkan empat dalil
Hadits buatannya yang berisi memuji-muji penamaan Rafidhah ini.
Rupanya
Syiah sangat senang dan bangga dengan penggunaan nama ini, sebab
berarti mereka, menampakkan jati dirinya dan dengan mencampakkan
ke-khalifahan-an Sayyidina Abu Bakar, Umar, dan Utsman ra.. Maka tidak
heran jika kemudian mereka memproduk hadits-hadits palsu yang
menjelsakan akan keutamaan nama ini.[20]
g. Al-Ja’fariyah
Penamaan
al-Ja’fariyah untuk Syiah Imamiyah Itsna ‘Asyariyah merupakan afiliasi
kepada kepada Imam ke-6 Syiah, yaitu Ja’far bin Muhammad ash-Shadiq ra.
Dalam istilah ilmu retorika Arab, penyebutan seperti ini disebut
menyematkan nama khusus untuk sesuatu yang umum. Dalam riwayat al-Kasyi
dijelaskan bahwa pendukung Imam Ja’far yang bemukim di Kufah adalah
kelompok yang mula-mula disebut Ja’fariyah. Saat beliau mendengar hal
ini, beliau marah hebat dan berkata, “Di antara kalian yang mendukung
Ja’far sangat sedikit, pendukung Ja’far hanyalah orang yang benar-benar
wara’ dan beibadah untuk penciptanya.”[21]
h. Al-Khashshah
Nama
ini digunakan oleh tokoh Syiah Imamiyah Itsna ‘Asyariyah untuk menyebut
pengikutnya, sementara Ahlussunnah dipanggil dengan sebutan al-‘Ammah
(kalangan awam). Dijelaskan dalam Da’irat al-Ma’arif: “Al-Khashshah,
bila diucapkan oleh sebagian Ahli Dirayah Syiah, maka maksudnya adalah
Syiah Imamiyah Itsna ‘Asyariyah, sedangkan bila disebut kata Al-‘Ammah,
maka yang dimaksud adalah Ahlussunnah wal Jama’ah.”[22] Nama ini sering
mereka gunakan ketika meriwayatkan hadits. Mereka kerap kali mengatakan
“riwayat ini adalah menurut orang-orang awam (al-‘Ammah), sedang yang
ini menurut orang-orang khash (al-Khashshah).[23] Diantara riwayat Syiah
yang memakai kosa kata ini adalah sebagai berikut :
مَا خَالَفَ العَامَّةَ فَفِيهِ الرَّشَادُ
“Apapun yang berseberangan dengan orang awam (al-‘Ammah) adalah merupakan petunjuk.”[24]
Sementara
sekte Isma’iliyah, sekte terbesar kedua dalam golongan Imamiyah, adalah
golongan yang mengakui bahwa Imam Ja’far ash-Shadiq ra. telah menunjuk
Isma’il, putra beliau, sebagai Imam penggantinya sesudah beliau wafat.
Akan tetapi, karena Isma’il bin Ja’far ash-Shadiq telah meninggal
terlebih dahulu, maka orang-orang Syiah berpandangan bahwa sebenarnya
penunjukan itu dimaksudkan kepada putra Isma’il, yaitu Muhammad bin
Isma’il. Muhammad bin Isma’il lebih dikenal dengan sebutan Muhammad
al-Maktum (yang berarti menyembunyikan diri).
Golongan
Isma’iliyah berpendapat, selama seorang Imam belum mempunyai kekuatan
yang cukup untuk mendirikan kekuasaan, maka Imam tersebut perlu
menyembunyikan diri; baru setelah merasa cukup kuat, ia akan keluar dari
persembunyiannya. Selama masa persembunyiannya itu, sang Imam
memerintah utusan-utusannya untuk menggalang kekuatan. Oleh karena itu,
beberapa Imam sesudah Muhammad al-Maktum selalu menyembunyikan diri
sampai masa Abdullah al-Mahdi yang kemudian berhasil mendirikan dan
menjadi khalifah pertama Dinasti Fatimiah di Mesir.
Sebagian
dari sekte ini percaya bahwa sebenarnya Isma’il bin Ja’far tidak
meninggal dunia, melainkan hanya gaib dan akan kembali lagi ke dunia
nyata pada akhir zaman. Mereka disebut as-Sab’iyah atau golongan yang
mempercayai tujuh Imam. Untuk sekte ini, Imam terakhir adalah Isma’il
bin Ja’far.
Golongan Isma’iliyah sampai saat ini ada,
namun jumlah mereka sedikit sekali. Pengikut sekte ini yang banyak
terdapat di India. Salah seorang Imam Isma’iliyah di wilayah tersebut
dikenal dengan nama Aga Khan.
Dari uraian tentang aneka
ragam sekte Syiah di muka, maka kita dapati satu titik temu, bahwa fakta
berbicara jika untuk saat ini, satu-satunya aliran Syiah yang masih
eksis dan memiliki peran yang signifikan di beberapa lini kehidupan umat
Islam (keagamaan, sosial-kemasyarakatan dan politik kenegaraan) adalah
hanya Syiah Imamiyah Itsna ‘Asyariyah. Sementara Syiah versi yang lain,
seperti Saba’iyah, Mukhtariah, Kaisaniyah, Ghulat, dan lain-lain, telah
punah termakan oleh seleksi waktu dan terkikis oleh gesekan-gesekan
masa.
Namun, hal yang perlu disadari adalah, bahwa
beragam versi Syiah tersebut, hingga versi yang paling ekstrem
sekalipun, sejatinya tidaklah punah. Memang, secara riil mereka bisa
dikatakan punah sebab sama sekali tidak ditemukan pengikut dan
penerusnya, namun, secara substansial, ideologi dan ajaran-ajaran mereka
tetap ada, terus hidup dan berkembang. Dan fakta yang sungguh
mencengangkan, bahwa ajaran-ajaran dan ideologi-ideologi dari beragam
aliran Syiah yang telah punah tersebut ternyata terangkum dalam aliran
Syiah yang kini tengah memiliki pengikut dan pengaruh yang signifikan,
yakni Syiah Imamiyah Itsna ‘Asyariyah.
Inilah fakta yang
tidak dapat kita elakkan dan penting untuk segera disadari bersama.
Sebab opini yang berkembang, dan tampaknya memang sengaja dikembangkan,
bahwa Syiah Ghulat yang mempunyai pemikiran-pemikran ekstrem dalam
berakidah sebenarnya telah punah, baik kelompoknya maupun
ajaran-ajaranya. Jadi merupakan kesalahan besar apabila Syiah Imamiyah
Itsna ‘Asyariyah yang masih eksis sampai sekarang dituduh Syiah yang
ekstrem.
Nah, disanalah fakta dan data yang ada justru
menunjukkan hal yang sebaliknya. Riset yang dilakukan oleh para pakar
menunjukkan bahwa sebetulnya aliran-aliran Syiah yang ekstrem itu secara
ideologis masih berkembang dan terus dikembangkan, sebab
ideologi-ideologi mereka sudah terangkum dalam akidah Syiah Imamiyah
Itsna ‘Asyariyah yang memiliki peranan besar dan terus berkembang hingga
kini.
Berikut sebagian bukti dari akidah-akidah
aliran-aliran Syiah yang telah punah, yang terangkum dalam sekte Syiah
Imamiyah Itsna ‘Asyariyah:
a. Bada’. Mulanya, bada’ merupakan
salah satu akidah Syiah Mukhtariah, salah satu versi Syiah Ghulat,
sedangkan kini menjadi kepercayaan resmi Syiah Itsna ‘Asyariyah.
Riwayat-riwayat tentang bada’ bisa ditemukan dengan mudah dalam beberapa
literatur utama Syiah Itsna ‘Asyariyah, seperti al-Kafi. Dalam kitab
tersebut sedikitnya terdapat 16 (enam belas) riwayat tentang bada’ yang
diafiliasikan kepada Ahlul Bait. Demikian pula dalam Bihar al-Anwar
karya al-Majlisi. Dalam kitab tersebut setidaknya terdapat 70 (tujuh
puluh) hadits yang menjelaskan tentang bada’ dengan sangat gamblang.
Dari sini kita bisa melihat bahwa kelompok Syiah ekstrem—dengan berbagai
ragam namanya—pada hakikatnya masih ada dan menyatu dalam doktrin Syiah
Itsna ‘Asyariyah.
b. Raj’ah. Termasuk akidah Syiah
Ghulat yang sekarang menjadi aliran wajib Syiah Itsna ‘Asyariyah adalah
raj’ah. Syiah Itsna ‘Asyariyah, sebagaimana yang akan dijelaskan nanti
dalam babnya yang spesifik, sepakat menyatakan bahwa raj’ah merupakan
salah satu pokok ajaran Abdullah bin Saba’, kelompok Syiah yang sangat
ekstrem iu.
c. Pengkultusan terhadap para Imam. Akidah
ini juga merupakan doktrin sekte Syiah Saba’iyah dan sekte Syiah Ghulat,
dan kini sudah resmi menjadi ajaran Syiah Itsna ‘Asyariyah. Dalam karya
ulama-ulama Syiah bisa dijumpai banyak riwayat yang mengupas tuntas
doktrin ini, antara lain dalam al-Kafi, Bihar al-Anwar, kitab-kitab
tafsir bi al-Ma’tsur Syiah seperti Tafsir al-Qummi dan Tafsir
al-‘Ayasyi, serta dalam kitab-kitab Rijal al-Hadits Syiah seperti Rijal
al-Kasyi dan lain-lain.
d. Mengutamakan Imam daripada
Nabi. Ini juga merupakan salah satu ajaran Syiah ekstrem, sebagaimana
yang dijelaskan oleh Imam Abdul Qahir al-Baghdadi, al-Qadhi ‘Iyadh, Imam
Ibnu Taimiyah, dan yang lain. Doktrin ini sekarang juga menjadi
kepercayaan resmi sekte Syiah Itsna ‘Asyariyah.[25]
Pembahasan
tentang tema ini tampaknya memerlukan pengkajian yang spesifik, serius,
dan terfokus. Mempelajari pemikiran sekte-sekte Syiah klasik dan
membandingkan dengan literatur-literatur Syiah Itsna ‘Asyariyah, dan
bahwa pemikiran Syiah Ghulat telah terekam dengan begitu sempurna dalam
literatur-literatur Syiah Itsna ‘Asyariyah dengan bentuk periwayatan
yang diafiliasikan kepada Imam-imam Ahlul Bait.
Untuk
itu, doktrin-doktrin Syiah Imamiyah Itsna ‘Asyariyah yang merupakan
himpunan dari doktrin-doktrin sekian banyak versi-versi Syiah yang telah
punah, sedapat mungkin juga akan ditampilkan di sini, pada bagiannya
tersendiri. Insya Allah.
By Apad Ruslan, diadaptasi dari
buku Mungkinkah SUNNAH-SYIAH DALAM UKHUWAH? Jawaban Atas Buku Dr.
Quraish Shihab (Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan, Mungkinkah?)
[1] http://swaramuslim.net.
[2] Lihat, Ensiklopedi Islam (entri Syiah); http://swaramuslim.net.
[3]Kendati
pengutukan terhadap Sayyidina Ali ra. merupakan salah satu karakter
Syiah Ghulat, akan tetapi Ayatullah Ruhullah Khomaini juga sempat
memunculkan klaim negatif terhadap Sayyidina Ali ra., lantaran beliau
menerima tawaran arbitrase dari pihak Sayyidina Muawiyah bin Abi Sufyan
ra. (lihat penjelasan bagian akhir dari sub bagian Syiah, Sahabat, dan
Ahlussunnah.)
[4] Ensiklopedi Islam, entri Syiah.
[5]
Dikutip dari catatan Dr. Al-Qifari dalam Ushul Madzhab Syiah al-Imamiyah
Itsna Asyariyah: ‘Ardh wa Naqd, juz 1 hlm. 129, cet. 2, Dar ar-Ridha
(1418 H/1998 M).
[6] Ensiklopedi Islam, entri Syiah.
[7]
Lihat antara lain dalam Da’irat al-Ma’arif, juz 14, hlm. 68,
ath-Thabrasi, Mustadrak al-Wasa’il, juz 3 hlm. 311; Amir Ali, Ruh
al-Islam, juz 2 hlm. 92.
[8] Lihat, al-‘Uyun wa al-Mahasin, juz 2, hlm. 19. Lihat pula, Ashlu asy-Syiah wa Ushuliha, hlm. 92.
[9] Periksa, at-Tanbih wa al-Isyraf, hlm. 198
[10] Al-Farqu baina al-Firaq, hlm. 64
[11] Al-Itsna Asyariyah wa Ahlu al-Bait, hlm. 15.
[12] Al-Asya’ari, Maqalat al-Islamiyyin, juz 1 hlm. 90-91.
[13] Asy-Syahrastani, al-Milal wa an-Nihal, juz 1 hlm. 169.
[14] Al-Isfiraini, at-Tabshir fi ad-Din, hlm. 33.
[15] Lihat, al-Qummi, al-Maqalat wa al-Firaq, hlm. 89.
[16] Lihat, al-I’tiqadati Firaq al-Muslimin wa al-Musyrikin, hlm.84-85.
[17] al-Asy’ari, Maqalat al-Islamiyyin juz 1 hlm. 88.
[18] Ibnu Hazm azh-Zhahiri, al-Fashl fi al-Milal wa an-Nihal juz 4 hlm. 157-158.
[19] al-Asy’ari, Maqalat al-Islamiyyin juz 1 hlm. 89.
[20] Lihat, Tafsir al-Furat, hlm. 139, al-Mahasin al-Barqi, hlm. 157.
[21] Lihat, Rijal al-Kasyi, hlm. 255.
[22] Lihat, Da’irat al-Ma’arif, juz 17, hlm. 122.
[23] Lihat anatara lain karakter penulisan dalam Bulugh al-Maram karya Hasyim al-Bahrani.
[24] Lihat, Ushul al-Kafi, juz 1, hlm. 68, Wasail asy-Syi’ah, juz 18, hlm. 76.
[25] Lihat, Ushul Madzhab Asy-Syi’ah, juz 3, hlm. 1186-1187.
(sigabah.com/syiahindonesia.com)
Sumber: http://www.syiahindonesia.com/2015/05/macam-macam-aliran-syiah-lengkap.html
Langganan:
Posting Komentar (Atom)