Oleh Agus Hasan Bashori Lc., M.Ag.
Orang yang memperhatikan sejarah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,
serta sejarah para sahabat dan para tabi’in serta atba’ tabi’in bahkan
hingga generasi sesudah tahun 350 H, tidak akan mendapatkan seorangpun
dari umat Islam yang mengadakan mauludan atau Perayaan Maulid Nabi, atau
memerintahkannya, atau bahkan membicarakannya. Imam al-Hafizh
as-Sakhawi al-Syafi’i dalam fatawanya berkata:
“Perayaan maulid tidak dinukil dari
seorangpun dari salaf shalih di tiga zaman yang utama. Akan tetapi hal
itu terjadi setelah itu.” (Mengutip dari Subulul Huda war-Rasyad (1/439), karya al-Shalihi, cetakan Kementrian Waqaf Mesir.)
Jadi pertanyaannya yang sangat mengusik
adalah: Sejak kapan Perayaan Maulid ini ada? Apakah diadakan oleh para
ulama, atau para raja, atau oleh para khulafa` ahlus sunnah yang
dipercaya agamanya? Ataukah dari orang-orang yang menyimpang dan
memusuhi sunnah? (Nashir ibn Yahya al-Hanini, dalam al-Maulid an-Nabawi,
Tarikhuh, Hukmuh, Atsaruh) (www.saaid.net/mktarat/Maoled/1.htm )
Pertanyaan ini dijawab oleh para ulama Islam, diantaranya oleh Syaikhul Azhar Syaikh Athiyah Shaqr:
“Para sejarawan tidak mengetahui
seorangpun yang merayakan Maulid Nabi sebelum Dinasti Fathimiyyah,
sebagaimana yang dikatakan oleh Ustadz Hasan as-Sandubi.
Mereka merayakan Maulid Nabi di Mesir
dengan pesta besar. Mereka membuat kue dalam jumlah besar dan
membagi-bagikannya, sebagaimana yang dikatakan oleh al-Qalqasandi dalam
kitabnya Shubhul A’sya.” Lalu Syaikh Athiyah mejelaskan urutan sejarah
maulid sebagai berikut:
Pertama:
Di Mesir. Orang-orang Fathimiyyah
merayakan berbagai macam maulid untuk ahlul bait. Yang pertama kali
melakukan adalah al-Muiz lidinillah (341-365H) pada tahun 362 H. Mereka
juga merayakan Maulid Isa (natalan) sebagaimana dikatakan oleh
al-Maqrizi as-Syafi’i dalam kitab as-Suluk Limakrifati Dualil Muluk.
Kemudian Maulid Nabi- begitu pula
maulid-maulid yang lain- pada tahun 488 H karena khalifah al-Musta’li
billah mengangkat al-Afdhal Syahinsyah ibn Amirul Juyusy Badr al-Jamali
sebagai mentri. Ia adalah orang kuat yang tidak menentang ahlus sunnah,
sebagaimana dikatakan oleh Ibnul Atsir dalam kitabnya al-Kamil: 5/302.
Hal ini berlangsung hingga kementrian diganti oleh al-Makmun
al-Bathaihi, lalu ia mengeluarkan instruksi untuk melepas shadaqat
(zakat) pada tanggal 13 Rabiul Awal 517 H, dan pembagiannya dilaksanakan
oleh Sanaul Malik. (Mei 1997, Fatawa al-Azhar: 8/255)
Sejarahwan sunni Syaikh al-Maqrizi al-Syafi’i (854 H) dalam kitab al-Khuthath (1/490 dan sesudahnya) berkata:
“Menyebut hari-hari di mana para
khalifah Fathimiyyah menjadikannya sebagai hari raya dan musim perayaan,
pesta besar bagi rakyat dan banyak kenikmatan di dalamnya untuk mereka.”
Lalu dia mengatakan:
“Adalah para khalifah Fathimiyyah di
sepanjang tahun memiliki hari-hari raya dan hari-hari besar, yaitu: Hari
Raya Tahun Baru, Hari Raya Asyura`, Hari Raya Maulid Nabi saw, Hari
Raya Maulid Ali ibn Abi Thalib ra, Maulid Hasan dan Husain as, Maulid
Fathimah as, Maulid Khalih al-Hadir (yang sedang berkuasa), Malam Awal
Rajab, Malam Nishfu Sya’ban, Malam Ramadhan, Ghurrah (awal) Ramadhan,
Simath (tengah) Ramadhan, Malam Khataman, Hari Raya Idul Fitri, Hari
Raya Kurban, Hari Raya Ghadir (Khum), Kiswah as-Syita` (pakaian musim
hujan), Kiswah as-Shaif (pakaian musim panas), Hari Besar Pembukaan
Teluk, Hari Raya Nairuz (tahun Baru Persia), Hari Raya al-Ghuthas, Hari
Raya Kelahiran, Hari Raya Khamis al-Adas (khamis al-ahd, 3 hari sebelum
Paskah), dan hari-hari Rukubat.”
Sementara dalam kitab Itti’azhul Khunafa`
(2/48) al-Maqrizi berkata: (pada tahun 394 H) “Pada bulan Rabiul Awal
manusia dipaksa untuk menyalakan kendil-kendil (lampu) di malam hari di
rumah-rumah, jalan-jalan dan gang-gang di Mesir.” Di tempat lain (3/99)
ia berkata: (pada tahun 517 H)
”Dan berlakulah aturan untuk merayakan Maulid Nabi yang mulia pada bulan Rabiul Awal seperti biasa.”
Untuk keterangan lebih lanjut mengenai apa yang terjadi saat perayaan
Maulid Nabi dan besarnya walimah maka silakan merujuk pada al-khuthath;
1/432-433; Syubul A’sya, karya al-Qalqasandi: 3/498-499).
Setelah mengutip kutipan di atas maka
Syaikh Nashir ibn Yahya al-Hanini penulis al-Maulid an-Nabawi
menyimpulkan: “Dari kutipan di atas, renungkanlah bersama saya.
Bagaimana Maulid Nabi dikumpulkan bersama bid’ah-bid’ah besar seperti:
a) Bid’ah Syi’ah dan ghuluw (kultus) terhadap ahlul bait yang tercetus dalam Maulid Ali, Maulid Fathimah, Maulid Hasan dan Husain.
b) Bid’ah hari besar Nairuz, hari
raya Ghuthas, dan hari maulid Isa (natal), yang kesemuanya adalah hari
raya Kristen. Ibnul Turkmani dalam kitabnya al-Luma’ fil Hawadits wal
Bida’ (1/293-316) berkata tentang hari-hari raya milik Nashari tersebut:
“Pasal, termasuk bid’ah dan kehinaan
adalah apa yang dilakukan oleh kaum muslimin pada Hari Raya Nairuz milik
Nasrani dan hari-hari besar mereka, yaitu ikut menambah uang belanja
(lebih dari hari biasanya).” Ia berkata,
“Nafkah ini tidak akan diganti (oleh Allah) dan keburukannya akan kembali kepada orang yang mengeluarkannya, cepat atau lambat.”
Lalu dia berkata, “Di antara sedikitnya
taufiq dan kebahagiaan adalah apa yang dilakukan oleh orang muslim yang
buruk pada hari yang disebut dengan hari Natal (kelahiran/ maulid Isa).”
Kemudian ia mengutip ucapan ulama-lama
Madzhab Hanafi bahwa siapa yang melakukan perkara-perkara di atas dan
tidak bertaubat maka ia kafir seperti mereka.
Kemudia ia menyebut hari-hari raya Nasrani
yang biasa diikuti oleh orang-orang Islam yang jahil. Dia menjelaskan
keharamannya berdasarkan al-Quran dan Sunnah melalui kaedah-kaedah
syariat. Dengan demikian, maka yang pertama kali mengadakan Maulid Nabi
adalah Banu Ubaid yang dikenal dengan sebutan Fathimiyyiin.
Kedua:
Di Mesir. Ketika datang Dinasti Ayyubiyah
(yang dimulai pada saat Shalahuddin al-Ayyubi menggulingkan khalifah
Fathimiyyah terakhir al-Adhidh Lidinillah pada tahun 567 H/ 1171 M )
maka dibatalkanlah semua pengaruh kaum Fatimiyyin di seluruh wilayah
negara Ayyubiyah, kecuali Raja Muzhaffar yang menikahi saudari
Shalahuddin al-Ayyubi ini.
Perayaan maulid ini kembali dihidupkan di
Mesir pada masa Mamalik, pada tahun 922 H oleh khalifah Qanshuh
al-Ghauri. Kemudian, tahun berikutnya 923 H ketika Orang-Orang Turki
Usmani memasuki Mesir maka mereka meniadakan maulid ini. Namun setelah
itu muncul kembali. Demikian yang dikatakan oleh Ibnu Iyas.
Ketiga:
Irak. Kemudian di awal abad ke-7 H
perayaan maulid menjadi acara resmi di kota Arbil, melalui sultan
Muzhaffaruddin Abu Said Kukburi ibn Zainuddin Ali Ibn Tubaktakin. Dia
seorang Sunni (bukan Syi’ah seperti bani Ubaid Fatimiyyin). Dia membuat
kubah-kubah di awal bulan Shafar, dan menghiasinya dengan seindah
mungkin.
Di hari itu, dimeriahkan dengan nyanyian,
musik dan hiburan qarquz, Gubernur menjadikannya sebagai hari libur
nasional, agar mereka bisa menonton berbagai hiburan ini. Kubah-kubah
kayu berdiri kokoh dari pintu benteng sampai pintu al-Khanqah.
Setiap hari setelah shalat ashar
Muzhaffaruddin turun mengunjungi setiap kubah, mendengarkan irama musik
dan melihat segala yang ada di sana. Ia membuat perayaan maulid pada
satu tahun pada bulan ke delapan, dan pada tahun yang lain pada bulan ke
12. Dua hari sebelum maulid ia mengeluarkan onta, sapi dan kambing.
Hewan ternak itu diarak dengan jidor menuju lapangan untuk disembelih
sebagai hidangan bagi masyarakat.
Sementara menurut Abu Syamah dalam kitab
al-Ba’its ala Inkaril Bida’ wal-Hawadits mengatakan: “Orang yang pertama
melakukan hal tersebut di Mosul (Mushil) adalah syaikh Umar ibn
Muhammad al-Mulla salah seorang shalih yang terkenal, maka penguasa
Arbil meniru beliau.”
Para sejarawan termasuk Ibnu Katsir dalam
Tarikhnya menyebutkan bahwa perayaan maulid yang diadakan oleh Raja
Muzhaffar ini dihadiri oleh kaum shufi, melalui acara sama’ (pembacaan
qashidah dan nyanyian-nyanyian keagamaan kaum shufi) dari waktu zhuhur
hingga fajar, dia sendiri ikut turun menari/ bergoyang (semacam
joget-ala shufi). Dihidangkan 5000 kambing guling, 10 ribu ayam dan
100.000 zubdiyyah (semacam keju), dan 30.000 piring kue. Biaya yang
dikeluarkan untuk acara ini –tiap tahunnya- sebesar 300.000 Dinar.
Syaikh Umar ibn Muhammad al-Mulla yang
menjadi panutan sultan Muzhaffar adalah seorang shufi yang setiap tahun
mengadakan perayaan maulid dengan mengundang umara, wuzara (para mentri)
dan ulama (shufi). Ibnul Hajj Abu Abdillah al-Abdari berkata, “Sesungguhnya perayaan ini tersebar di Mesir pada masanya, dan ia mencela bid’ah-bid’ah yang ada di dalamnya.”
(Al-Madkhal: 2/11-12) Pada abad ke 7 kitab-kitab maulid banyak ditulis,
seperti kisah ibn Dahiyyah yang meninggal di Mesir w. 633 H, Muhyiddin
Ibnul Arabi yang wafat di Damaskus tahun 638 H, ibnu Thugharbek yang
wafat di Mesir tahun 670 H, dan Ahmad al-’Azli bersama putranya Muhammad
yang wafat tahun 677 H.
Karena
banyaknya bid’ah-bid’ah yang menyertai acara maulid maka para ulama
mengingkarinya, bahkan mengingkari hukum asal maulid. Di antara mereka
adalah al-Fakih al-Maliki Tajuddin Umar ibn Ali al-Lakhami al-Iskandari
yang dikenal dengan sebutan al-Fakihani yang wafat tahun 731 H. Dia
menuliskannya dalam risalah al-Maurid fil Kalam alal Maulid. Hal ini
disebutkan oleh Imam Suyuthi dalam kitabnya Husnul Maqshad.
Kemudian Syaikh Muhammad al-Fadhil ibn Asyur berkata, “Maka datanglah abad ke 9, sementara manusia berselisih antara yang membolehkan dan melarang. Imam Ibnu Hajar al-Asqalani (773-852),
as-Suyuti (849-911) dan Ibnu Hajar al-Haitami (909-974) menganggap
baik, dengan pengingkaran mereka terhadap bid’ah-bid’ah yang menempel
pada acara maulid. Mereka menyandarkan pendapat mereka pada firman Allah
yang artinya:
“Dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah.” (QS. Ibrahim: 5)
Imam Nasai, dan Abdullah ibn Ahmad dalam
Zawaid al-Musnad, serta al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman dari Ubay ibn
Ka’b, dari Nabi saw, beliau menafsiri hari-hari Allah dengan
nikmat-nikmat Alah dan karunia-Nya.” (Ruhul Ma’ani, karya al-Alusi)
Sedangkan kelahiran Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam adalah nikmat Allah yang besar.
Saya katakan:
Betul, mengingatkan nikmat-nikmat Allah
termasuk di dalamnya adalah Maulid Nabi saw melalui khutbah, ceramah,
kajian, dan tulisan, bukan dengan hari raya dan perayaan atau pesta atau
idul milad atau mauludan.
Penutup
Pembaca yang mulia, setelah kita
mengetahui asal muasal Maulid Nabi, yaitu berasal dari kaum bathiniyyah
(kebatinan) yang memiliki dasar-dasar akidah Majusi dan Yahudi yang
menghidupkan syiar-syiar kaum salib; maka di sini kita perlu mengatakan
kepada orang-orang yang menilai masalah secara proporsional, logis dan
obyektif:
“Apakah benar jika kita menjadikan orang-orang seperti itu sebagai sumber ibadah kita dan syiar agama kita?”
Sementara kita mengatakan sekali lagi:
“Sesungguhnya abad-abad awal yang
diutamakan oleh Allah, tempat para panutan kita -salafuna shalih- hidup
tidak ada secuilpun bagi adanya ibadah semacam ini, apakah dari ulamanya
ataupun dari masyarakat awamnya. Tidakkah cukup bagi kita apa yang
dahulu cukup bagi mereka, salafus shalih itu?” [*]
Malang, 23 Muharram 1430H/ 20-1-09
sumber : www.qiblati.com
Maraji :
1. Nashir ibn Yahya al-Hanini, dalam al-Maulid an-Nabawi, Tarikhuh, Hukmuhuh, Atsaruh)www.saaid.net/mktarat/Maoled/1.htm , www.alsoufia.com/mawled/tareekh/index_tareekhl_mawleed.html
2. Athiyah Shaqr, Fatawa al-Azhar (Maktabah Syaamilah 2)
3. Jalaluddin as-Suyuthi, Husnul Maqshad fi Amalil Maulid, dalam kitab al-Hawi lilfatwa, Darul Fikr,1414,1/221-231.
4. Samir ibn Khalil al-Maliki, Mukhtasar fi Hukmil A’yad al-Muhdatsah,www.alsoufia.com/mawled/tareekh/index_tareekhl_awal.html )
6. Shalih Suhaimi, al-Bida’ wa atsaruha fi inhiraf at-Tashawwur al-Islami, www.iu.edu.sa/Magazine/50-51/7.doc
Diambil dari bulletin Qiblati (Vol.1 No. 3 Th 1430 H Maret 2009)
(nahimunkar.com/albalaghmedia.com)