Para
orang tua dari anak-anak itu datang memelas. Meraka memohon kepada
pejabat keamanan politik agar anak-anak mereka dilepaskan. Namun,
pejabat itu melontarkan jawaban menghina yang kelak tersebar ke seluruh
Suriah, “Lupakan mereka, dan lahirkanlah anak-anak yang lain! Atau bawa
kemari istri-istri kalian agar kami hamili bila kalian tidak mampu!”
Kesabaran
tetap ada batasnya. Rakyat Suriah telah cukup bersabar hingga laut
kesabaran itu telah kering. Dan bubuk mesiu yang terjilat api pasti akan
meledak. Bubuk mesiu itu adalah emosi penduduk Dir’a, sedangkan apinya
adalah jawaban pejabat pemerintah tadi. Meledaklah revolusi!
VII
Tuntutan
untuk melakukan demonstrasi pada hari Selasa (15/3/2011) tersebar lewat
situs-situs jejaring sosial di internet. Pada hari H, demonstrasi kecil
terjadi di Damaskus, Halab, Dir’a, dan Dirzur. Para demonstran
berteriak, “Kemana engkau bangsa Suriah.”
Esok
harinya, sekitar 100 pemuda dan pemudi berdemonstrasi di jantung kota
Damaskus. Mereka berkumpul di depan kantor kementrian dalam negeri
menuntut kebebasan, reformasi politik, dan agar tawanan politik
dibebeskan dari penjara. Ratusan aparat keamanan bersenjata pentungan
membubarkan demonstrasi dan menangkap sebagian aktivis. Beberapa
perempuan dijambak rambutnya serta seret menuju mobil tahanan.
Jumat
(18/3/2011) sejumlah demonstrasi terjadi di beberapa kota di Suriah.
Dir’a menjadi kota yang paling panas. Khususnya setelah insiden
penangkapan anak kecil yang disusul oleh pernyataan pejabat keamanan
tadi. Sekam yang membara tinggal menunggu untuk disiram dengan bahan
bakar. Dan pemerintah Suriahlah yang melakukannya.
Penguasa
merespon demonstrasi dengan sejata berpeluru tajam. Empat syahid jatuh
korban. Itulah bahan bakar yang membakar bara emosi rakyat.
Sabtu
keesokan harinya, warga Dir’a melayat dan mengiringi jenazah para
syuhada. Syekh Ahmad al Shayashinah menyerukan kepada rakyat Suriah,
“Sejak hari ini, wajib hukumnya bagi setiap rakyat Suriah yang mampu
untuk keluar berdemonstrasi. Sikap berpangku tangan adalah khianat
terhadap darah para syahid.”
Petugas
keamanan meneror Syekh Ahmad dan meminta dia menenangkan gerakan
protes. Syekh Ahmad menolak. Akibatnya dia dipukuli petugas.
Ahad
(20/3/2011), rombongan manusia mengalir dari segala penjuru Hawran
menuju Dir’a. Mereka berteriak, “Bangkitlah Hawran, bangkitlah Hawran!”
Beberapa aparat mencoba menenangkan kumpulan manusia itu, namun nihil.
Rakyat menuntut agar pejabat keamanan yang membalas dengan penghinaan
itu dihukum mati. Untuk pertama kalinya selama beberapa dekade publik
mengajukan tuntutan untuk menghukum mati seorang pejabat yang
sewenang-wenang.
Untuk
pertama kalinya pula, massa berkumpul bukan untuk meneriakkan “Bashar
sebagai pemimpin untuk selamanya,” atau “kami akan berkorban dengan
darah dan nyawa.” Bukan. Teriakan yang menggoncang bumi Hawran saat itu
adalah “Bashar barrah, barrah (keluar); Suriah hurrah, hurrah
(merdeka).” Ketakutan terhadap rezim akhirnya menguap sudah. Dugaan
banyak orang selama ini terhadap rakyat Suriah menjadi tidak terbukti.
Pada
hari yang sama, salah satu berhala raksasa di dunia Arab dan Islam juga
jatuh. Sekertaris Jenderal Hizbullata (bukan: Hizbullah), Hasan
Nashrullah berpidato, “Pemerintahan yang mirip Husni Mubarak yang
diprotes rakyatnya, maka kami akan bersama rakyatnya. Akan tetapi jika
pemerintahan itu menolak dan timbul masalah, maka persoalannya jadi
lain. Kami akan berdiri bersama mereka, dan berkata, ‘Tuntaskan urusan
kalian sendiri.”
Setelah
pidato Hasan Nashrullah, demonstran Suriah di Dir’a membakar posternya
dan protes, karena mereka juga menghadapi intimidasi dan penindasan.
Nashrullah dan Hizbullata jatuh dari mata rakyat Suriah, dan hampir saja
Iran yang bermain di belakangnya turut kolaps. Proyek raksasa yang
dibiayai Iran selama sepertiga abad jatuh sudah.
VIII
Sesungguhnya
krisis Suriah bisa saja berhenti sampai di situ. Apa yang dituntut oleh
para demonstran? Menurunkan pejabat keamanan dan mengajukannya ke
pengadilan, mengganti gubernur yang korup dan melepaskan anak-anak yang
ditawan bersama sejumlah tawanan politik. Di samping itu, membatalkan
undang-undang darurat yang telah menghimpit kehidupan rakyat selama
setengah abad.
Adapun
menurunkan pemerintahan yang ada, masih merupakan mimpi di siang
bolong. Kenapa rezim tidak berusaha memenuhi tuntutan yang ringan itu?
Kalaupun rezim yang ada belum mau melaksanakan tuntutan rakyat, kenapa
para demonstran harus dihadapi dengan senjata?
Segera
saja gerakan revolusi mengarah ke mogok massal yang dimulai di Dir’a
dengan berkumpul di masjid Jami’ al ‘Amri. Sebagaimana rakyat segera
menangkap bahwa mogok massal dan berkumpul di tempat terbuka merupakan
“dosa besar” di mata rezim Bashar.
Pagi
itu (23/3/2011), ledakan memecah udara Dir’a. Tentara loyalis rezim
memulai serangannya ke Jami’ al ‘Amri. Para pemuda tidak beranjak dari
tempat berkumpul mereka. Tentara mulai menembak dengan rentetan senapan
mesin dan melempar bom. Korban dari rakyat sipil mulai berjatuhan.
Puluhan tewas sebagai syuhada serta ratusan lainnya luka berat. Dan
ketika aliran manusia mengalir menuju Jami’ al ‘Amri, mereka dihadang
dengan tembakan dan korban yang jatuh bertambah. Militer melarang
ambulans menolong korban yang jatuh. Bahkan korban yang berhasil dibawa
pergi dicegat oleh tentara di jalan dan dibawa ke mobil tahanan.
Informasi
tentang demo besar-besaran dan sikap rezim segera tersebar ke
distrik-distrik lain di Hawran. Rakyat keluar ke jalan-jalan dan protes.
Dengan marah, mereka berjalan menuju Dir’a. Sebagaimana sebelumnya,
militer mencegat mereka dengan timah panas.
Hari
itu berakhir dengan 52 korban nyawa. Hawran tidak mungkin lagi mundur
ke belakang. Dia telah memasuki titik yang tak mungkin dihentikan
kecuali dengan runtuhnya rezim Bashar.
IX
Hari-hari
berikutnya semakin memanas. Kendati pejabat-pejabat pemerintahan silih
berganti muncul di layar televisi dengan pernyataan yang penuh
kamuflase. Janji untuk menghukum pejabat yang melanggar, militer yang
melampaui batas, dan upaya melakukan investigasi yang indipenden. Tidak
berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.
Bashar
tampil di televisi dengan pidatonya yang membosankan. Beberapa orang
ditampilkan mendukung Bashar. Rakyat telah terbiasa dengan drama dan
teriakan rekayasa yang ditampilkan di media resmi pemerintah. Rakyat
membalasnya dengan demonstrasi yang pecah di mana-mana.
Seorang
pejabat, lewat konferensi pers yang disiarkan media menegaskan bahwa
presiden telah melarang keras tentara menghadapi demonstrasi rakyat
dengan senjata. Hari Jumat, dunia menjadi saksi betapa instruksi
presiden itu dilaksanakan. Ketika ribuan demonstran yang berasal dari
Kufr Syams dan Shinmin mendekati kantor keamanan militer, pintu dibuka
dengan hujan peluru senjata mesin yang berhambur menyambar tubuh para
domonstran. Puluhan nyawa melayang di tempat.
Senin
(28/3/2011) rakyat Suriah telah membuka mata mereka. Rakyat telah sadar
bahwa rezim yang ada memilih jalan kekerasan dan darah. Rezim siap
membantai rakyatnya sendiri demi menghentikan arus demonstrasi.
Recep
Tayyip Erdogan, perdana menteri Turki muncul di layar televisi, “Kita
tidak mungkin berpangku tangan terhadap apa yang terjadi di Suriah.”
Sejak itu, dia memang tidak pernah lagi berlepas tangan terhadap nasib
saudara-saudaranya di Suriah.
X
Sejak
awal rezim Suriah berupaya membunuh “janin” revolusi sebelum dia lahir
dan tumbuh besar dan kuat. Lantaran itu, demo-demo pertama dihadapi
dengan senjata, dan korban mulai berjatuhan di mana-mana. Strategi yang
ditempuh tentara rezim umumnya adalah menggunakan penembak jitu yang
bersembunyi di gedung-gedung tinggi kota. Kadang juga dengan tembakan
senjata mesin oleh tentara yang berlindung.
Rezim
Suriah rupanya belajar dari revolusi Tunisia dan Mesir. Rezim
menyimpulkan bahwa sikap ragu-ragu pihak keamanan dan militerlah yang
menjadikan gerakan revolusi tumbuh dan terus berkembang. Rezim tidak mau
melakukan “kesalahan” yang sama. Maka sejak awal demonstrasi, rezim
Suriah telah mengerahkan segala kekuatan yang dia miliki. Oleh karena
itu, kita tidak pernah mendengar adanya penggunaan peluru karet atau gas
air mata kecuali sangat sedikit.
Setiap
hari terjadi demo, mogok missal; dan jawaban yang diberikan oleh rezim
Bashar tidak berubah. Peluru panas dan senjata berat menghadapi
demonstrasi damai rakyat. Pekan demi pekan, jumlah korban nyawa terus
bertambah. Setiap pekan korban berjatuhan, 83 syahid, 63 syahid, 78
syahid, 55 syahid, bahkan Jumat (22/4/2011) 225 syahid, dan Jumat
(29/4/2011) 336 syahid.
XI
Memasuki
pekan keenam, rezim Bashar mengeluarkan kartunya yang terakhir. Tentara
mulai menyerang distrik-distrik tertentu. Dimulai dengan pemutusan
listrik dan air serta pasokan makanan. Namun demikian, rakyat tidak
pernah menyerah. Setelah lewat beberapa waktu, tentara baru memasuki
kota dengan menembak dan memburu warga satu persatu. Tidak puas dengan
itu, bom mortir menyusul setelahnya. Namun itu semua tidak menyurutkan
rakyat. Hingga saat ini dunia menyaksikan keteguhan dan ketabahan rakyat
Suriah dengan revolusi mereka.
Rezim
penguasa menghadapi perlawanan rakyat dengan militer. Pemukiman
penduduk dihujani bom-bom dan rudal. Banyak korban yang jatuh akibat
reruntuhan gedung. Mereka termasuk belasan ribu nyawa yang melayang
sejak awal revolusi. Makanya, sebagian pengungsi tidak punya apapun
selain baju yang melekat di badan.
Tentara
memperlakukan pemukiman penduduk seperti tentara pendudukan, bahkan
lebih kejam dari itu. Mereka menjarah rumah-rumah penduduk dan
menyembelih manusia seperti menyembelih binatang. Ribuan wanita, bahkan
anak-anak di bawah umur mereka permalukan. Adapun penangkapan dan
penyiksaan, terlalu panjang dan mengerikan untuk diceritakan.
XII
Ketika rezim memutuskan untuk membendung revolusi dengan peluru, sesungguhnya rezim telah melakukan dua kesalahan besar. Pertama,
yang eksesnya segera yaitu jatuhkan korban dari rakyat sipil yang
menjadi bahan akar bagi tumbuhnya perlawanan baru. Setiap korban akan
melahirkan kemarahan yang lebih banyak. Sehingga semakin banyak korban
yang jatuh, semakin banyak rakyat yang bergabung ke barisan revolusi.
Kedua,
ekses yang sejak hari pertama hingga kini terus menimpa kubu rezim
pemerintahan Suriah. Yaitu dilema dan frustrasi yang menjebak aparat
tentara dan keamanan. Ketika mereka mendapat instruksi dari atasan untuk
menembak dan membunuh warga yang tidak bersenjata sama sekali. Setiap
personil tentara hanya punya dua pilihan. Dia memilih untuk taat pada
perintah itu, dan itu berarti dia membunuh hati nurani dan kemanusiaan
dalam dirinya sendiri. Atau dia menolak untuk melaksanakan perintah itu,
dan dia terancam untuk dibunuh atas perintah atasannya.
Dilema
dan frustrasi ini semakin hari semakin menjalar dalam tubuh tentara
rezim. Kondisi psikologis yang sangat mempengaruhi kekuatan mereka.
Tidak heran bila hampir setiap waktu kita mendengar informasi adanya
tentara yang desersi. Mereka adalah tentara yang memilih suara hatinya
dan menyadari dirinya sebagai bagian dari rakyat.
Salah
satu yel yang sering diteriakkan oleh demonstran selama ialah “Rakyat
dan tentara adalah tangan yang satu”. Puluhan ribu tentara desersi dan
bergabung dengan revolusi saat ini menyebar di seluruh Suriah dan
merupakan salah satu kekuatan yang terus berkembang dalam tubuh
revolusi.
XIII
Pembaca
pernah mendengar tentang kemanan pemerintah yang menertibkan gelombang
protes rakyat dengan semprotan air, gas air mata, dan peluru karet. Tapi
pembaca mungkin belum pernah mendengar pemerintah yang menghadang
demonstrasi rakyat dengan senapan mesin, sniper yang menjadikan
anak-anak dan wanita sebagai target.
Pembaca
budiman mungkin tidak pernah mendengar ada penguasa yang mencegah
kendaraan ambulance untuk masuk ke daerah jatuhnya korban untuk
membantu, atau militer yang menyerbu rumah sakit-rumah sakit dan menawan
para perawat dan dokter serta menjadikan mobil ambulance itu sebagai
mobil tawanan, atau membunuh pasien serta membiarkan mereka terdampar di
jalan sampai menemui ajalnya.
Saudara
mungkin tidak pernah membaca ada pasukan pemerintah yang sengaja
menyimpan pasien luka di kulkas jenazah hingga dia wafat. Atau
penyiksaan terhadap anak-anak dengan mematahkan lehernya dan organ
tubuhnya yang lain, atau tawanan yang dikupas kulitnya serta dicabut
matanya.
Anda
bisa jadi belum pernah membaca pemerintah yang menjawab tuntutan rakyat
dengan menginstruksikan kepada aparatnya untuk menyerbu pemukiman
penduduk kemudian menyiksa dan membunuh mereka satu persatu. Atau
menghadapi domonstrasi rakyat dengan tank dan persenjataan berat.
Semua
yang kami kemukakan itu adalah realitas rezim Suriah saat ini. Itulah
tindakan yang telah dilakukannya terhadap rakyat dan perlawanan bangsa
Suriah. Dan itu masih terus berlangsung hingga saat tulisan ini dibuat.
XIV
Ketika
revolusi mulai pecah, hampir semua yang rakyat Suriah duga bahwa rezim
akan lakukan telah menjadi kenyataan. Pasukan keamanan dan perangkat
intelijen paling kejam, ratusan ribu loyalis partai Ba’ats, pemuda
partai dan Shabiha (gang bayaran piaraan rezim), tentara dengan segala
perlengkapan perangnya; semua itu telah dikerahkan rezim untuk
menghentikan perlawanan rakyat. Rakyat Suriah telah mempersiapkan diri.
Mereka siap menghadapi sebuah rezim yang mereka kenal dengan baik. Rezim
yang selama hampir setengah abad menindas rakyat.
Akan
tetapi rakyat Suriah tidak pernah menyangka bahwa Hizbullata (bukan:
Hizbullah) Libanon akan turut campur tangan dengan membela rezim dan
mengirim milisinya untuk memerangi rakyat Suriah. Rakyat Suriah tidak
mengira bahwa milisi Syiah Irak akan mengirim pasukannya demi
mempertahankan rezim sektarian Bashar, dengan membantai rakyat Suriah.
Revolusi rakyat tidak pernah menduga bahwa Iran akan secara terbuka
membela mati-matian rezim diktator Bashar dengan mengirim suplai bantuan
logistik, persenjataan, dan garda nasional untuk memerangi rakyat
Suriah. Namun itu semua adalah nyata.
Revolusi
tidak pernah mengira bahwa Rusia akan berdiri si samping rezim Suriah
dengan bantuan senjata dan teknologi, dan dukungan politik di percaturan
politik dunia. Tapi itulah kenyataanya.
Rakyat
Suriah hanya bisa mengandalkan diri mereka sendiri setelah Allah.
Mereka mengira bahwa dunia akan berpihak kepada mereka dan mencegah
rezim melakukan genosida terhadap rakyatnya sendiri, karena revolusi
damai yang mereka lakukan, tapi ternyata rakyat Suriah keliru. Rakyat
Suriah mengira bahwa Turki dan negara-negara tetangga yang lain tidak
akan menonton begitu saja dan akan mencegah rezim Bashar untuk semakin
tenggelam dalam pembantaian rakyat. Tetapi perkiraan itu salah. Revolusi
menyangka bahwa Amerika dan negara-negara Barat pada akhirnya akan
memberi bantuan, dalam bentuk apa pun itu. Namun persangkaan itu
meleset.
Rakyat
Suriah menduga bahwa bangsa Arab dan kaum Muslim akan mengguncang dunia
dengan revolusi dan banjir demonstrasi menentang tindakan rezim, bila
dia mengulangi tindakannya yang tidak manusiawi. Namun, itu semua
tinggal dugaan kosong.
XV
Belasan
ribu korban nyawa telah berjatuhan, puluhan ribu yang hilang, di atas
itu adalah orang-orang yang ditawan rezim, lebih seratus ribu orang yang
mengungsi ke negara-negara tetangga, dan jumlah yang lebih besar lagi
terlantar di dalam Suriah sendiri. (Laporan Syrian Network for Human
Rights [27/6/2012] menyebut korban tewas 14.863 rakyat sipil termasuk
wanita dan anak-anak dan 1.277 militer).
Namun,
pejuang Suriah bertekad bahwa mereka akan terus melanjutkan revolusi
dengan izin dan pertolongan Allah, dan tidak akan berhenti hingga rezim
Bashar jatuh.
Demikianlah
kisah revolusi rakyat Suriah. Setiap kisah harus ada akhirnya, dan
rakyat kami telah bertekad bahwa akhir revolusi harus mereka tuliskan
sendiri sebagaimana mereka telah menuliskan awalnya.
Suatu
hari nanti, anak cucu Saudara akan membaca sejarah bahwa bangsa Suriah
pernah melakukan revolusi melawan “tukang pukul” yang aniaya dan arogan,
serta mengira dirinya akan bertahan selama-lamanya. Mereka akan membaca
bahwa thagut tersebut telah melepas anjing-anjing dan piaraannya untuk
meneror dan menyiksa rakyat. Namun para pahlawan telah menyiapkan diri
mereka untuk kemungkinan yang paling terburuk. Maka mereka tidak goyah
dan tidak surut.
Pahlawan-pahlawan
itu justru berkata kepada thagut, “Bapakmu telah mencuri negeri kami
dan memperbudak bapak-bapak kami. Mereka hidup terhina dan mereka diam.
Kemudian kami lahir sebagai budak dan juga hidup terhina. Beberapa waktu
kami telah diam. Hingga ketika anak-anak kami mulai bergerak dalam
rahim istri-istri kami dan mereka hampir saja lahir ke dunia, kami
memutuskan bahwa perbudakan ini tidak boleh diwariskan dari kakek ke
anak hingga ke cucu. Maka kami bersumpah, bahwa anak-anak kami tidak
akan lahir ke dunia kecuali kami, rakyat Suriah, telah merebut
kemerdekaan.”
Kemudian
anak cucu Saudara akan membaca akhir dari kisah revolusi. Para pahlawan
itu telah memenuhi janji mereka, anak mereka tidak lahir kecuali mereka
telah merdeka.
(Diadaptasi dari Mujahid Ma’mun Diraniyah, Suriyah: Qisshah al Tsawrah, laporan disampaikan pada konferensi al Hamlah al Islamiyah li Nushrah Suriyah, Turki)
Sumber: http://albayan.co.uk/id/article.aspx?id=103