Tulisan
ini bukan ditujukan kepada orang Suriah yang mampu menceritakan bahkan
lebih baik daripada tulisan ini. Tulisan ini ditujukan kepada
saudara-saudaraku bangsa Arab (sumber asli tulisan) yang setelah lewat
setahun revolusi masih ada yang bertanya: kenapa kalian berontak kepada
pemerintah al Assad? Bagaimana revolusi tersebut terjadi?
I
Orang
Suriah hendaknya tidak buang waktu membaca tulisan ini, kecuali untuk
membacakannya kepada siapa pun yang bertanya. Adapun orang selain Suriah
yang hendak membaca tulisan ini, maka hendaknya dibantu untuk memahami
realitas revolusi Suriah sesungguhnya. Walaupun saya tidak bisa
menjanjikan bahwa mereka akan paham sepenuhnya. Sebab, bagaimanapun
tidak sama antara yang menyaksikan langsung dengan yang sekadar membaca.
Dunia
menyebut Suriah sebuah republik. Padahal pemerintahan republik memilih
presidennya lewat pemilihan umum yang mengganti presidennya secara
berkala dalam beberapa tahun. Namun, kenapa presiden Suriah justru
dilahirkan dari rahim istri presidennya? Lantas kenapa presiden Suriah
tidak pernah berganti?
Partai
Ba’ats yang sosialis merebut kekuasaan di Suriah lewat kudeta berdarah
pada bulan Maret 1963. Tapi sejatinya kudeta tersebut bukanlah kudeta
partai politik atas sebuah pemerintahan, selain upaya seseorang bernama
Hafiz al Assad, yang dengan dukungan sekelompok bersenjata menggulingkan
kekuasaan.
Di
depan publik, Hafiz al Assad tampil sebagai bagian dari kelompok
revolusi bersenjata. Tetapi sesungguhnya dialah aktor intelektual di
balik kudeta tersebut.
Dalam
beberapa tahun kemudian, al Assad berhasil menyingkirkan satu persatu
rekan-rekan seperjuangannya. Terakhir, dia berhasil melibas kawan
dekatnya, Shalah Jadid di akhir tahun 1970. Setelah itu, dia mengumumkan
dirinya sebagai pemimpin dan presiden bagi Suriah (1971).
Tiga
puluh tahun di bawah kekuasaan al Assad adalah masa sulit dalam sejarah
Suriah. Setelah dia wafat pada medio 2000 silam, Bashar al Assad
mewarisi kekuasaan bapaknya, tak ubahnya kekuasaan monarki. Namun karena
usia Bashar waktu itu (35 tahun) belum cukup untuk menjadi presiden
oleh konstitusi, maka hanya ada dua opsi: mencari calon presiden yang
lain atau mengamandemen konstitusi.
Namun
karena di di Suriah seluruhnya tidak ada pemuda yang layak untuk
jabatan presiden selain Bashar, maka amandemen konstitusi menjadi
pilihan yang paling ringan. Apalagi karena parlemen Suriah terdiri dari
para pakar hukum terkemuka di dunia. Tidak heran jika amandemen tersebut
cuma butuh waktu lima menit. Dan jadilah Bashar yang sebelumnya putra
mahkota sebagai “raja baru Suriah”. (Menang lewat referendum yang sarat
rekayasa dengan dukungan 97,3% suara [!])
II
Sejak
penggulingan kekuasaan oleh partai Ba’ats di tahun 1963, Suriah
memberlakukan undang-undang darurat. Selama empat puluh delapan tahun,
bangsa Suriah hidup di bawah tekanan dan penderitaan oleh undang-undang
tersebut. Kehormatan dan kebebasan mereka terampas.
Seluruh
negara jatuh ke dalam genggaman sekelompok orang yang mengendalikan
kekuasaan: keluarga al Assad dan para kroninya. Lembaga-lembaga negara,
pranata ekonomi, keamanan, militer . . . semua dipegang oleh lingkaran
kelompok itu. Hanya ratusan manusia yang secara de facto
memiliki negeri yang bernama Suriah beserta seluruh sumber daya yang ada
di dalamnya. Merekalah yang menguasai dan mengendalikan dua puluh juta
manusia lainnya.
Seorang penulis pernah berniat menulis tentang kondisi saat itu. Dia tidak mendapatkan tajuk yang lebih tepat selain: Mazra’ah/Kebun al Assad.
Ya, benar. Sebab Suriah di era tersebut telah berubah menjadi sekadar
sebuah kebun. Manusia Suriah lebih rendah statusnya daripada seekor
binatang. Semenjak setengah abad silam, setiap bayi yang lahir di Suriah
menambah jumlah budak dan tawanan rezim. Bayi tersebut lahir dalam
sebuah negeri yang diliputi horor, diskriminasi dan perampasan harkat
serta martabat.
Sidang
pembaca paham benar arti istilah “ketenteraman” dan “martabat” di
negeri Saudara hidup. Tapi bangsa Suriah hanya bisa mendengarnya sebagai
sebuah dongeng. Setiap anak di dunia diberi susu sejak kecilnya,
kecuali di Suriah. Anak-anak di Suriah diberi “susu” horor dan
penistaan.
Sejak
ketika seorang anak di Suriah belajar untuk berbicara, dia akan
diberitahu untuk tidak menanyakan atau menggugat apa pun. “Jangan sampai
engkau sekalipun menunjuk kepada aparat keamanan atau menyebut intel.
Jangan sekalipun engkau menyebut nama presiden, kecuali diawali dan
diikuti dengan pujian.”
III
Di
Suriah, terdapat patung-patung dan poster presiden yang jika hendak
dibagikan kepada seluruh penduduk dunia akan cukup. Jika Anda
berjalan-jalan di Suriah, Anda akan selalu menemukan patung di antara
dua patung lainnya, poster di antara dua poster lainnya. Bangsa Suriah
telah meringkas sejarah mereka pada profil presiden mereka.
Sebelum
al Assad, bangsa Suriah bukanlah siapa-siapa. Suriah mengangkat al
Assad ke semi-tuhan, dia dinobatkan sebagai pemimpin seumur hidup. Media
dan perangkat pendidikan semuanya ditujukan untuk mengindoktrinasikan
dusta besar: al Asadan/dua singa, bapak dan anaknya. Pemimpin terbesar,
paling bijaksana sepanjang zaman. Mereka adalah karunia Tuhan kepada
bangsa Suriah, khusus dan hanya buat bangsa Suriah.
Bangsa
Suriah diperbolehkan menista Tuhan, tetapi tidak boleh menista “tuhan”
palsu mereka. Itu terjadi sebelum segalanya terbuka dan tersingkap. Tapi
setelah rahasia itu terbongkar, ternyata pengikut setia al Assad memang
sujud kepada poster-posternya dan memaksa para tawanan untuk sujud
kepadanya. Bahkan para tawanan itu disiksa dan dipaksa untuk mengucapkan
persaksian: tiada tuhan selain Bashar(!). Maha Tinggi Allah dari segala
sekutu. Dan semoga Allah menimpakan siksanya kepada Bashar,
hamba-hambanya dan pengikutnya.
Teriakan
awal pemuda yang menuntut revolusi terbatas pada tuntutan kebebasan
“Hurriyyah, Hurriyyah”, dan “Bangsa Suriah tidak Boleh Direndahkan”.
Bangsa Arab lainnya tidak memahami arti teriakan tersebut, sebab mereka
belum pernah kehilangan kebebasan dan harga diri, seperti bangsa Suriah.
Bahkan bangsa Palestina pun tidak.
Demi
Allah, aku bersumpah, bahwa bangsa Palestina yang hidup di bawah
penjajahan Zionisme Yahudi lebih bebas dan lebih memiliki harga diri
daripada bangsa Suriah. Bangsa Suriah yang hidup di bawah penjajahan
partai Ba’ats al Assad selama empat puluh tahun lamanya.
IV
Di
Suriah, semua unsur intelijen adalah raja dan pemilik, sedangkan
seluruh rakyat Suriah adalah budak dan gembalaan. Al Assad memberikan
itu semua kepada intelijen setelah dia berhasil dengan kudetanya.
Intelijen bisa melakukan apa saja terhadap rakyat Suriah, yang penting
bahwa tidak ada yang berani meyentuh dan menggugat kekuasaan al Assad.
Sejak
saat itu, perangkat intelijen dan keamanan punya nota perbudakan
terhadap semua rakyat Suriah. Mereka bisa merampas kemerdekaan,
kehormatan, bahkan nyawa siapa saja tanpa koreksi dan protes dari siapa
pun. Tidak perduli orang tua, anak-anak, pria dan wanita, Arab dan
Kurdi, Muslim dan Nasrani. Setiap penduduk Suriah berarti berstatus
budak.
Andai
aparat keamanan itu bersikap sebagaimana gembala kepada binatang
gembalaannya, realitasnya tidak. Rakyat Suriah lebih rendah daripada
binatang.
Di
Suriah, aparat keamanan bisa menyerobot masuk ke rumah penduduk kapan
saja, siang atau malam, dan membawa pergi siapa yang mereka inginkan.
Anda tidak bisa menyanggah atau bertanya. Orang yang ditahan tidak tahu
alasan dia ditahan, atau mungkin alasan dia dibunuh.
Adapun
keluarganya, tahun-tahun berlalu dan mereka tidak tahu nasib keluarga
mereka. Awalnya mereka berharap bahwa dia akan pulang, kemudian berharap
bahwa mereka bisa mengunjunginya di penjara, kemudian berharap bisa
melihatnya walau hanya sekejap, lantas berharap mendengar informasi
tentangnya, informasi apa saja . . . . Harapan yang semakin lama semakin
redup dimakan waktu, hingga akhirnya harapan itu cuma satu: hidupkah
dia gerangan atau telah gugur.
Rakyat
Suriah telah terbiasa kehilangan anak-anak mereka dan mereka diam.
Mereka terlanjur lazim dengan keputusasaan terhadap keluarga mereka yang
ditahan. Mereka sudah biasa mengubur keluarga mereka yang tewas atau
meninggal sambil tutup mulut.
Apakah
pembaca pernah mendengar penjara Tadmur, “Bastille” Suriah yang
menyeramkan? Tanyakan kepada gurun pasir yang luas membentang di
belakangnya, berapa ratus ribu nyawa yang lenyap di dalamnya?
Manusia-manusia yang tak berdosa, bahkan manusia-manusia saleh dan
jujur. Semoga Allah merahmati mereka semua.
V
Tiba-tiba
dunia Arab meledak oleh revolusi. Musim semi telah tiba. Rakyat Tunis
keluar ke jalan-jalan raya (17/12/2010), disusul rakyat Mesir
(25/1/2011), kemudian rakyat Yaman (11/2/2011) dan Libya (17/2/2011).
Orang-orang
bertanya, bukankah rakyat Suriah lebih pantas untuk protes? Sebab,
kondisi mereka jauh lebih buruk dan pemerintahan mereka jauh lebih
korup. Tetapi apakah mereka akan melakukan revolusi? Orang-orang
bersilang pendapat. Tapi mayoritas berkata, tidak mungkin! Benar, rakyat
Suriah lebih butuh kepada kebebasan, tapi mereka terlalu lemah untuk
menuntut itu. Sebab pemerintahan Suriah paling sadis dan represif di
dunia saat ini.
Awal
Februari, sejumlah tuntutan “malu-malu” di Damaskus dan Halab mendesak
agar rakyat berdemo. Beberapa kesepakatan waktu telah dibuat, namun
tidak mendapatkan respons yang memadai. Para aktivis frustrasi dan putus
asa.
Manusia
menginginkan dan Allah berkehendak, dan Allah memutuskan apa yang Dia
kehendaki. Allah mengatur kehendaknya di luar kemampuan dan perkiraan
manusia. Tanggal 17 Februari, seorang polisi di pusat ibukota bertindak
sewenang-wenang kepada seorang pedagang di pasar tua Hurayqah. Polisi
itu memukul si pedagang.
Sontak,
orang-orang dipasar berkumpul dan protes. Tanpa rencana dan koordinasi
sebelumnya. Demonstrasi pertama selama setengah abad kurang dua tahun!
Dalam waktu singkat, ribuan manusia bergerombol dan meneriakkan yel-yel:
“Bangsa Suriah tidak Boleh Direndahkan”. Keadaan sangat riuh
sampai-sampai menteri dalam negeri turun tangan langsung mengendalikan
situasi. “Shabiha”, geng bersenjata piaraan rezim Bashar, dan aparat
keamanan menerobos ke tengah demonstrasi dan berusaha merebut kendali.
Mereka berteriak, “Allah, Suriah, Bashar.”
Padahal
demonstrasi tersebut tidak berarti apa-apa dibanding dengan
demonstrasi-demonstrasi pada bulan-bulan berikutnya. Hanya saja,
demonstrasi tersebut merupakan peristiwa luar biasa dalam perspektif
rakyat Suriah. Untuk pertama kalinya rakyat Suriah berkumpul dalam
jumlah besar untuk melakukan protes terhadap salah satu simbol rezim.
Baru kali itu mereka berbicara tentang harga diri dan identitas rakyat
Suriah. Istilah yang telah lama hilang dalam perasaan kolektif mereka.
Film
dokumentasi tentang demonstrasi tersebut di-upload ke Youtube dan
informasinya segera menyebar bagaikan api yang membakar ilalang. Tidak
sampai sepekan hingga film tersebut ditonton ratusan ribu manusia.
VI
Api
telah terlanjur membakar. Pengamat tidak bisa menyaksikan apa yang
sesungguhnya terjadi dari atas. Padahal, nyala api terus menjalar di
bawah permukaan. Lima hari setelah peristiwa itu, sebuah demonstrasi
kecil berkumpul di depan kedutaan besar Libya, memprotes kekerasan
berdarah terhadap saudara-saudara kita, pendukung revolusi yang melawan
diktator kejam Moammar Khadafi.
Demonstrasi
itu tidak berlangsung lama, sebab pihak keamanan membubarkannya dengan
keras. Dan ketika demonstrasi tersebut berulang keesokan harinya, para
pendemo mulai dipukuli bahkan ditahan.
Beberapa
hari jelang Februari berlalu, terjadilah peristiwa yang ditakdirkan
menjadi salah satu terminal revolusi. Seorang anak di Dir’a mencoret di
dinding slogan yang mereka contek dari Arab Spring di negeri Arab lainnya: “rakyat ingin menurunkan pemerintah”.
Pernahkan
Pembaca budiman mendengar tentang Dir’a sebelum ini? Dir’a adalah
ibukota Hawran, negeri yang melahirkan ulama-ulama besar semacam Imam
Nawawi dan Ibnu Katsir. Negeri ini pula yang memecahkan revolusi besar
melawan pendudukan Prancis.
Peristiwa
kecil itulah yang sesungguhnya melahirkan revolusi. Belasan anak yang
usianya tidak lebih dari 15 tahun diseret dari rumah mereka
masing-masing pada malam hari itu. Mereka digiring ke tahanan dan
disiksa. Organ tubuh mereka dibakar dan kuku mereka dicabut. Tubuh
mereka digebuk hingga remuk.
Para
orang tua dari anak-anak itu datang memelas. Meraka memohon kepada
pejabat keamanan politik agar anak-anak mereka dilepaskan. Namun,
pejabat itu melontarkan jawaban menghina yang kelak tersebar ke seluruh
Suriah, “Lupakan mereka, dan lahirkanlah anak-anak yang lain! Atau bawa
kemari istri-istri kalian agar kami hamili bila kalian tidak mampu!”
Kesabaran
tetap ada batasnya. Rakyat Suriah telah cukup bersabar hingga laut
kesabaran itu telah kering. Dan bubuk mesiu yang terjilat api pasti akan
meledak. Bubuk mesiu itu adalah emosi penduduk Dir’a, sedangkan apinya
adalah jawaban pejabat pemerintah tadi. Meledaklah revolusi!
Bersambung . . . .
Sumber: http://www.albayan.co.uk/id/article.aspx?id=102