Sabtu, 04 Juli 2015
Puasa Tapi Tetap Maksiat
Ibadah puasa tak sekadar menahan lapar dan haus dan perkara lain yang membatalkannya. Tetapi seharusnya setiap muslim juga harus rajin beribadah, menjaga lisannya dan perbuatannya dari yang diharamkan Allah agar puasanya tak sia-sia.
Tidak sedikit yang berpuasa namun maksiatnya tetap jalan, seperti “asmara subuh”. Ini fenomena yang jamak saat ini, seusai subuh biasanya banyak remaja putra putri menghabiskan waktu dengan jalan-jalan pagi dengan tujuan “cuci mata”, cari kenalan bahkan pacaran.
Demikian juga pada bulan Ramadhan masih banyak wanita muslimah yang dengan sengaja membuka auratnya. Padahal memperlihatkan aurat adalah dosa besar namun anehnya pamer aurat itu masih terus dilakukan meskipun di bulan suci Ramadhan.
Hal lain yang kerap didapatkan adalah ucapan-ucapan kotor, ataupun perkataan dusta. Kebanyakan tidak menyadari kesalahan tersebut karena dimaksudkan untuk lucu-lucuan. Namun hal itu tetap tidak diperbolehkan dalam Islam.
Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah menerangkan tentang hakikat puasa, “Seorang yang berpuasa adalah orang yang anggota badanya berpuasa dari perbuatan-perbuatan dosa, lisannya berpuasa dari kata dusta, kata keji, dan ucapan palsu, perutnya berpuasa dari makanan dan minuman, kemaluannya berpuasa dari bersetubuh. Bila dia berbicara, tidak berbicara dengan sesuatu yang mencacat puasanya, bila berbuat, tidak berbuat dengan suatu perbuatan yang merusak puasanya, sehingga seluruh ucapannya keluar dalam keadaan baik dan manfaat.
Demikian pula amalannya, amalannya bagai bau harum yang dicium oleh seorang yang berteman dengan pembawa minyak wangi misk, semacam itu pula orang yang berteman dengan orang yang berpuasa, ia mendapatkan manfaat dengan bermajlis (duduk) bersamanya, aman dari kepalsuan, kedustaan, kejahatan dan kezhalimannya.”
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta, dan pengamalannya, serta amal kebodohan (maksiat), maka Allah tidak butuh pada amalannya meninggalkan makan dan minumnya”. (HR. al-Bukhari)
Dalam hadits lain Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya puasa itu bukan menahan dari makan dan minum saja, hanyalah puasa yang sebenarnya adalah menahan dari laghwu (ucapan sia-sia) dan rafats (ucapan kotor), maka bila seseorang mencacimu atau berbuat tindakan kebodohan kepadamu katakanlah: 'Sesungguhnya aku sedang berpuasa'.” (HR Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim, shahih)
Sebagian ulama salaf berkata, “Puasa yang jelek adalah jika saat puasa hanya meninggalkan minum dan makan saja.” (Lathoiful Ma'arif, hal. 277).
Maksudnya, puasa yang dilakukan hanya menahan lapar dan dahaga, namun maksiat masih terus jalan.
Jabir bin 'Abdillah radhiyallahu 'anhu berkata, “Jika engkau berpuasa, maka puasakanlah pendengaran, penglihatan dan lisanmu dari dusta dan perkara yang diharamkan. Jangan sampai engkau menyakiti tetanggamu. Juga bersikap tenanglah di hari puasamu. Jangan jadikan puasamu seperti hari-hari biasa.”
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Betapa banyak orang yang berpuasa hanya mendapatkan rasa lapar dan dahaga saja. Betapa banyak pula yang melakukan shalat malam, hanya begadang di malam hari” (HR. Ahmad 2: 373. Syaikh Syu'aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid).
Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Mendekatkan diri pada Allah Ta'ala dengan meninggalkan perkara yang asalnya mubah tidaklah sempurna sampai seseorang meninggalkan keharaman. Barangsiapa yang melakukan yang haram disertai mendekatkan diri pada Allah dengan meninggalkan yang mubah, maka ini sama halnya dengan seseorang meninggalkan yang wajib lalu beralih mengerjakan yang sunnah. Walaupun puasa orang yang bermaksiat tetap dianggap sah dan tidak diperintahkan untuk mengqodho' puasanya menurut pendapat jumhur (mayoritas ulama). Alasannya karena amalan itu batal jika seseorang melakukan perbuatan yang dilarang karena sebab khusus (seperti makan, minum dan jima') dan tidaklah batal jika melakukan perbuatan yang dilarang yang bukan karena sebab khusus. Inilah pendapat mayoritas ulama.” (Latho'iful Ma'arif, hal. 277-278)
Mula 'Ali Al Qori rahimahullah berkata, “Ketika berpuasa begitu keras larangan untuk bermaksiat. Orang yang berpuasa namun melakukan maksiat sama halnya dengan orang yang berhaji lalu bermaksiat, yaitu pahala pokoknya tidak batal, hanya kesempurnaan pahala yang tidak ia peroleh. Orang yang berpuasa namun bermaksiat akan mendapatkan ganjaran puasa sekaligus dosa karena maksiat yang ia lakukan.” (Mirqotul Mafatih Syarh Misykatul Mashobih, 6: 308).
Dalam Al Qur'an setelah Allah melarang dari makan dan minum di siang hari saat puasa, disebutkan pula setelah itu keharaman memakan harta orang lain tanpa lewat jalan yang benar. Padahal memakan harta orang lain dengan jalan keliru adalah terlarang di setiap waktu. Sedangkan larangan untuk makan dan minum hanyalah saat puasa. Ini adalah isyarat bahwa siapa yang mendekatkan diri pada Allah dengan menjauhi makan dan minum, maka ia juga diharuskan untuk menjauhi memakan harta orang lain dengan jalan yang batil. Namun memakan harta seperti itu berlaku setiap waktu, bukan ketika Ramadhan saja atau waktu tertentu saja. Lihat penjelasan Ibnu Rajab Al Hambali dalam Lathoiful Ma'arif, hal. 278.
Syaikh 'Abdul 'Aziz bin Baz rahimahullah berkata, “Puasa yang telah Allah syari'atkan adalah jalan yang Dia jadikan untuk kita belajar menjaga anggota badan dari perkara-perkara yang Dia haramkan dan hendaklah anggota tubuh ini digunakan hanya pada jalan ketaatan. Juga semoga hal ini semakin mengingatkan pada nikmat Allah.”
Maka puasa yang sebenarnya adalah puasanya anggota badan dari perbuatan-perbuatan dosa, puasanya perut dari minum dan makan, maka sebagaimana makanan itu akan memutus puasa dan merusaknya, demikian pula perbuatan-perbuatan dosa akan memutus pahalanya dan merusak buahnya, sehingga menjadikan orang yang berpuasa seperti yang tidak puasa. (Al-Wabilushayyib:43)
Menengok kepada realita ibadah puasa yang dilakukan oleh manusia, Ibnu Qudamah membagi puasa menjadi tiga:
- Puasa orang awam, yaitu sekedar menahan perut dan kemaluan dari keinginannya.
- Puasa orang khusus, yaitu menahan pandangan, lisan, tangan, kaki, pendengaran, penglihatan dan seluruh anggota badan dari perbuatan-perbuatan dosa.
- Puasa orang yang lebih khusus, yaitu puasanya kalbu dari keinginan-keinginan yang hina, pemikiran-pemikiran yang menjauhkan dari Allah dan menahan kalbu dari selain Allah secara total. [Mukhtashar Minhajul Qashidin:58]
Demikian yang terjadi pada pengamalan manusia terhadap ibadah puasa ini, tentu semestinya semua orang, baik yang awam atau yang berilmu agar menjadikan puasanya ini pada tingkatan yang tertinggi. Dan disinilah lahan untuk berpacu bagi semua orang yang berjalan menuju Allah dalam ibadah ini, semoga Allah memberikan taufiq-Nya kepada kita semua untuk berlomba-lomba dalam meraih yang terbaik.[]
Artikel Terkait

Langganan:
Posting Komentar (Atom)