![]() |
(ilustrasi) |
Bilal bin Rabah radiyallahu 'anhu, ketika mendengar nama ini disebut, maka kita teringat satu hal, yaitu: Sang Mu'adzin Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
Selain kisahnya sebagai Mu'adzin, Beliau juga memiliki kisah yang menarik, tatkala beliau masih budak dari Umayyah, sebelum dibebaskan oleh Abu Bakar As-shiddiq radiyallahu 'anhu dari perbudakan.
Siang itu, ketika terik matahari menyengat, dengan disaksikan oleh banyak manusia, tubuh Bilal bin Rabah radhiyallahu 'anhu dibaringkan di atas pasir panas oleh tuannya, Umayyah. Berulang kali ia dicambuk, sampai kulitnya memar dan mengeluarkan darah segar. Bahkan saat tubuhnya semakin lemah, siksaannya ditambah, sebuah batu besar ditindihkan di atas dadanya. Bisa dibayangkan betapa sakitnya siksaan itu!
Namun, selama penyiksaan tersebut Bilal terus dan terus mengucapkan kata: “Ahad, Ahad, Ahad!” (Esa, Esa, Esa).
Apa sebenarnya yang membuat sehingga Bilal bin Rabah radhiyallahu 'anhu sampai diperlakukan seperti itu oleh tuannya? Apakah beliau telah melakukan suatu kesalahan besar sehingga membuat Umayyah marah besar?
Ternyata, hanya karena satu kalimat yang sangat singkat yang telah diucapkannya, diyakininya di dalam hati dan dibuktikannya dengan perbuatan. Kalimat tersebut adalah “La ilaha illallah”, tiada Ilah (Tuhan) yang berhak untuk disembah kecuali Allah. Beliau rela disiksa oleh tuannya yang memintanya agar meninggalkan kalimat tersebut akidahnya.
“La ilaha illallah”, kalimat ini jika dilihat sepintas, maka sangatlah mudah diucapkan oleh siapa saja. Namun, tahukah kita bahwa para pemuka Kafir Quraisy waktu itu, ketika diajak oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam untuk mengucapkannya saja, (sekali lagi) hanya diajak untuk mengucapkannya saja, namun mereka enggan melakukannya. Mengapa? Karena mereka tahu, apa konsekuensinya terhadap kehidupan mereka ketika mengucapkan kalimat yang sangat singkat ini.
Mereka sadar bahwa jika mengucapkannya, maka (diantaranya:) seluruh berhala-berhala sesembahan mereka yang mengelilingi Ka'bah dan patung lainnya, wajib dihancurkan, dan mereka mesti tunduk penuh patuh kepada Risalah yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu agama Tauhid, Islam.
Mereka paham betul kandungan dan konsekuensi yang ada di balik kalimat tersebut.
Lalu, bagaimana dengan banyaknya umat Islam hari ini yang berulang-ulang dan sangat mudah mengucapkan kalimat Tauhid ini? Apakah kita telah memahami betul kalimat yang mulia ini?
Makna “Laa Ilaha Illallah”
Makna kalimat tauhid “laa ilaha illallah” secara global adalah tidak ada satu pun yang berhak diibadahi kecuali Allah semata. Karenanya, sama sekali tidak boleh berdoa, shalat, bernadzar, menyembelih, kecuali hanya kepada Allah saja. Demikian pula ibadah-ibadah lainnya, tidak boleh dipersembahkan kecuali hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala semata.Ash-Shan'ani rahimahullah berkata: “Makna La ilaha illallah ialah meng-Esakan Allah dengan peribadatan dan Ilahiyyah (satu-satunya yang berhak diibadahi), serta, membebaskan diri dari segala sesembahan selain-Nya.”
Syirik sang penghapus pahala amalan
Di akhirat kelak, masing-masing manusia akan memperoleh apa yang telah diusahakannya sewaktu masih di dunia.Namun, dapatkah kita membayangkan jika sekiranya amal, yang merupakan jalan mengundang Rahmatnya Allah agar seorang manusia dimasukkan ke dalam Surga, ternyata semua pahala amalan yang dikerjakannya di dunia terhapus dan tidak ada artinya. Inilah adalah kerugian yang sangat besar. Na'udzu billahi min zalik.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalam surah Az-Zumar, ayat 65, yang artinya: “…Jika kamu mempersekutukan (Rabb), niscaya akan terhapuslah amalanmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.”
Dalam surah An-Nisa, ayat 48 Allah berfirman, yang artinya: “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik, dan Dia (Allah) mengampuni dosa selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.”
Begitu sangat berbahayanya dosa syirik, Allah mengharamkan surga bagi pelakunya, sebagaimana Allah berfirman dalam surah Al-Maidah ayat 72, yang artinya: “…Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah Neraka…”.
Mengokohkan Tauhid
Tauhid begitu penting dalam kehidupan kita sebagai hamba Allah. Untuk itu kita harus senantiasa mengusahakan agar tauhid kita semakin kokoh dan selalu tertanam dalam jiwa kita. Berikut ini beberapa upaya tersebut:1. Melatih diri untuk rajin dan tidak bermalas-malasan dalam menuntut ilmu Syar'i, baik di pengajian-pengajian, maupun lewat sarana lainnya, khususnya dalam memperdalam ilmu tentang Tauhid ini.
Memperlajari tauhid adalah fardhu 'ain bagi setiap muslim dan muslimah. Allah Ta'ala berfirman, yang artinya: “Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (yang baik) disembah melainkan Allah... ” (QS. Muhammad : 19)
Bahkan meski usia tua, itu tak menghalangi seseorang untuk tetap menuntut ilmu syar'i.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Allah akan memahamkannya dalam urusan agama.” (HR. Bukhari dan Muslim).
2. Membenci segala bentuk kesyirikan sebagaimana bencinya untuk dilempar ke Neraka. Tinggalkanlah segala bentuk kesyirikan dan juga sesuatu yang menjurus pada kesyirikan walaupun perbuatan itu sudah dianggap baik oleh masyarakat secara turun temurun, bahkan dari keluarga dan orangtua sendiri. Semisal pengkultusan terhadap Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Meski kita wajib untuk mencintai Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam namun kecintaan kita tidak boleh menjerumuskan kita kepada dosa syirik yakni mensejajarkan Rasulullah dengan Allah. Bahkan ini adalah syirik yang bisa mengeluarkan pelakunya dari Islam.
Termasuk yang harus kita hindari adalah syirik kecil yakni riya' (ingin dilihat) dan sum'ah (menyebut-nyebut kebaikan) agar dipuji. Penghapus pahala ini kadang tidak disadari oleh seseorang.
3. Membiasakan diri dan tidak bosan berdoa di tiap-tiap momentum berdoa kepada Allah, baik di shalat-shalat malam kita, antara azan dan iqamat, di waktu turunnya hujan, agar Dia menguatkan Tauhid kita kepada-Nya dan dihindarkan dari kesyirikan, baik syirik kecil maupun syirik besar. Sebab dengan berdoa menunjukkan bahwa hanya Allah-lah yang bisa menyelamatkan kita dari perbuatan syirik tersebut dan mengokohkan Tauhid kita di atasnya.
Diantara doa yang diajarkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam agar terhindar dari syirik besar dan syirik kecil adalah:
اللَّهُمَّ إنِّي أَعُوذُ بِك أَنْ أُشْرِكَ بِك وَأَنَا أَعْلَمُ وَأَسْتَغْفِرُك لِمَا لَا أَعْلَمُ
"Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari perbuatan syirik (menyekutukan-Mu) sedangkan aku mengetahuinya. Dan aku memohon ampun kepada-Mu terhadap kesyirikan yang tidak aku ketahui." (HR. Ahmad dan Shahih Abi Hatim serta yang lainnya, shahih)4. Membaca kisah-kisah tentang orang-orang terdahulu dalam mempertahankan tauhid mereka. Semisal kisah Asiyah, istri Fir'aun yang rela disiksa yang kemudian mengantarkannya pada kematian demi mempertahankan tauhidnya. Padahal sebelumnya ia hidup mewah dalam istana Fir'aun.
Bacalah kisah keteguhan iman para sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Ada Yassir bersama istrinya Sumayyah yang menemui ajalnya setelah sekian lama disiksa oleh kafir Quraisy.
Juga Khubaib bin 'Ady yang meski tubuhnya dipotong satu demi satu di tiang salib tapi tak membuat dai bergeming untuk menukar imannya. Begitupun dengan kisah Bilal bin Rabah yang disebutkan di awal tulisan ini. Dan masih banyak kisah-kisah yang bisa menginspirasi kita dalam mempertahankan tauhid.
Semoga Allah 'Azza wa Jalla senantiasa mengokohkan tauhid kita, yang dengannya amalan-amalan yang telah kita lakukan di dunia ini tidak sia-sia dan kelak di akhirat, Dan Allah memasukkan kita ke dalam surga-Nya, surga Firdaus. Amin. Wallahu A'lam. []
Dimuat di Buletin Dakwah al-Balagh edisi 10 Tahun 1436 H.