Oleh: Syamsuar Hamka*
Sebut saja Edo, seorang lelaki paruh baya yang bekerja di sebuah perusahaan di Jakarta. Ia dulunya adalah seorang aktivis dakwah di kampus, namun setelah masuk dalam dunia kerja ia kemudian banyak berubah. Hari-harinya kini sibuk mengurus pekerjaan kantornya. Di akhir pekan, seperti kebanyakan penduduk jakarta. Ia menggunakan akhir pekannya untuk menikmati waktu libur dengan berkunjung ke puncak, atau tempat wisata lainnya.
Sama seperti pekerja lainnya di ibukota. Mereka dikejar-kejar waktu. Apalagi bagi yang tinggal di daerah penyangga seperti Bogor, Depok, Tanggerang dan Bekasi. Para pekerja harus berangkat jauh lebih awal untuk bisa sampai di kantor. Mereka harus berangkat setidaknya, tepat setelah shalat subuh. Sebab jika tidak, mereka akan dihadang kemacetan di jalan berjam-jam lamanya.
Demikian halnya bagi mereka yang menggunakan moda transportasi kereta api, setengah enam pagi, jadwal awal kereta diberangkatkan sudah dipadati oleh para pekerja yang berlomba-lomba menduduki kursi penumpang. Hingga pukul 8 pagi, jika tidak mau berdiri dan berdesak-desakan dalam gerbong, silakan menunggu hingga matahari telah meninggi, dan siap-siap untuk merasakan peringatan dari atasan, karena telat masuk jam berkantor.
Setelah kembali dari aktivitas seharian penuh di kantor, para pekerja pulang ke rumahnya pukul 04.00. Kereta, serta kendaraan-kendaraan akan kembali disesaki oleh arus pekerja yang pulang dari kantornya. Dan biasanya, kepadatan itu mulai mereda pukul 9 malam.
Rata-rata karyawan seperti Edo yang tidak tinggal di Jakarta setiap harinya akan berangkat sebelum matahari terbit, dan akan sampai di rumah antara pukul 10.00 hingga 11.00 malam. Aktivitas itu setiap hari berulang dari senin hingga sabtu. Waktu mereka dipenuhi dengan kuantitas aktivitas yang banyak memakan waktu.
Akhirnya untuk menikmati waktu sisa, pilihannya, di akhir pekan mereka harus menggunakan quality time dengan bersantai, wisata, dan jalan-jalan. Kabarnya, di Jepang, yang kualitas pekerjaan jauh lebih padat dan disiplin, di akhir pekan di kota-kota besar Jepang, biasanya tempat-tempat hiburan malam justru bertambah padat. Sebab para karyawan yang telah habis waktunya di kantor, menggunakan waktu liburnya di bar, karaoke, club malam, bioskop dan tempat hiburan lainnya.
Sebagian besar, bahkan tidak ada yang mengingkari, betapa sibuknya para pekerja seperti Edo. Meski dengan pendapatan yang melebih UMR, waktu mereka kebanyakan habis dalam pekerjaan. Sehingga membutuhkan waktu istirahat untuk memperoleh kembali kesegaran bekerja selama satu pekan kemudian.
Kepadatan aktivitas demikian, membuat sebagian pekerja seperti Edo terpengaruh oleh kegiatan-kegiatan yang buruk. Aktivitas clubbing, karaokean, diskotik dan lain-lain terkadang menjadi pilihan. Sebab jiwa mereka butuh isirahat dari letih mengejar target-target harian.
Dalam siklus tubuh manusia, memang demikian adanya. Bahwa ada masa dimana raga kita membutuhkan waktu untuk berdiam. Mengumpulkan energi dan sejenak beristirahat, agar bisa kembali fresh dan bersemangat memulai pekerjaan. Waktu malam Allah ciptakan sebagai libaasa, pakaian yang menutupi raga kita. Dan Allah jadikan waktu siang sebagai ma’aasya, waktu untuk mencari penghidupan.
Demikian pula siklus pekanan, bulanan hingga tahunan. Ada pekerjaan yang bisa diselesaikan dalam jangka sehari. Ada siklus pekanan, bulanan, dan ada yang bisa diselesaikan dalam jangka waktu satu tahun. Dari sinilah kita melihat bagaimana Allah menciptakan siklus kehidupan. …Dan masa itu Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran)… (QS. Ali Imran: 140).
Demikian halnya jiwa, kita merasakan siklus dimana semangat dan keimanan itu menurun, hingga butuh untuk di-recharge. Agar ia kembali on, dan bisa merasakan vitalitas bekerja dan berpenghidupan. Jiwa kita terkadang letih dan lelah, saat demikian masalah silih berganti dalam hidup kita. Hingga ada masanya, kita butuh untuk diingatkan kembali. Kita butuh untuk mendengarkan curahan nasihat dari orang-orang berilmu, agar tidak bergeser orientasi hidup kita dari jalan yang benar.
Kita membutuhkan bimbingan rohani, dimana ia merupakan nutrisi bagi jiwa. Nutrisi yang memperkaya sikap dan mematangkan jatidiri menjadi lebih baik. Bahwa hidup di dunia bukanlah satu-satunya tujuan yang harus diperoleh. Agar jiwa kita sadar, bahwa mencari ilmu juga merupakan kewajiban hingga meninggal. Sama halnya mencari rezki dan penghasilan untuk melanjutkan kehidupan, dan melahirkan generasi.
Lalu apa yang terjadi dengan Edo? Terakhir kali dihubungi oleh seorang temannya saat berdakwah di kampus, ia telah terjerat dengan berbagai macam aktivitas-aktvitas bersama teman sekantornya. “Kalau di Jakarta, hubungan dengan teman sekantor, laki-laki dan perempuan, pacaran hingga hubungan yang lebih dari itu, itu sudah biasa”, kurang lebih itu ungkapannya. Edo telah masuk dalam dunia kerja, yang menjanjikan dunianya, namun bisa menjadi ancaman yang cukup berat bagi imannya. Sebab, tidak sedikit fitnah teman sekantor, pengaruh sahabat untuk mengonsumsi alkohol, bermain perempuan, hingga Narkotika, membayangi para pekerja seperti Edo. Iman menjadi taruhan!.
Bahkan kini, Edo dikabarkan sudah sangat sulit untuk menghindari hubungannya dengan perempuan. Hubungan intim. Ya, hubungan intim tanpa ikatan pernikahan, alias berzina. Naudzu billah… “Saya selama bergaul disini, rokok dan bir semuanya bisa saya tinggalkan. Tapi saya susah sekali meninggalkan hubungan dengan perempuan. Terus terang saya tidak bisa sama sekali,” aku Edo kepada sahabatnya.
Maksiat seperti itu mungkin telah berulang kali ia lakukan. Hingga ia pun tidak bisa meninggalkannya. Maksiat sudah mendarah-daging, apalagi ditambah dengan lingkungan kerja, bersama dengan orang-orang yang membiarkan, menganggap biasa, mendukung bahkan bersama mengerjakan hal-hal seperti itu. Tentu, itu akan semakin mempersulit orang seperti Edo untuk keluar dari jerat maksiat, sebagaimana yang diungkapkannya.
Karena itu, dalam bekerja, di mana pun itu, jiwa kita membutuhkan bimbingan ilmu yang menumbuhkan iman. Agar konsistensi kita dalam beragama bisa terus terjaga. Tidak mengorbankan agama demi pekerjaan. Mengorbankan agama demi penghasilan. Tetapi kita berani mengorbankan pekerjan dan penghasilan demi komitmen kita dalam beragama.
Untuk itulah diperlukan sarana yang mendukung keterjagaan iman dan keberlangsungan menuntut ilmu. Dan salah satu sarana yang paling mendukung adalah tarbiyah. Tarbiyah adalah pertemuan pekanan dalam durasi satu hingga dua jam yang dibimbing oleh seorang mentor, murabbi dan pembina. Seorang ustadz, alim ataupun kakak senior, yang terjaga agamanya untuk mengingatkan kita dalam bekerja. Agar kita bisa menjaga batas-batas Allah dalam segala kondisi. Sekalipun keadaan itu demikian sulit, minimal kita mengakui kesalahan itu, dan beristighfar kepada Allah setelahnya. Bukan larut, pasrah atau malah membenarkan kesalahan-kesalahan demikian dengan dalih, “Banyak orang yang lakukan, kalau itu bikin masuk neraka, di nereka saya tidak akan sendirian..” wal iyyadzu billah.
Tarbiyah akan menjadi sebuah sarana memperbaiki jiwa. Merefleksi kembali tujuan-tujuan kita. Menyalakan cahaya iman dan menguatkan tekad dan azzam dalam ilmu dan agama. Sebab kita adalah manusia yang sering lupa. Karena itu, kita membutuhkan pengingat. Sebagaimana tubuh yang butuh nutrisi. Jiwa pun membutuhkan nutrisi. Dan halaqah tarbiyah-lah yang akan menjadi sarana nutrisi bagi jiwa itu. Wallohu a’lam bi ash-showab.[]
*Ketua Dept. Kajian Strategis PP LIDMI 2015-2017