Rabu, 04 Februari 2015

Hakikat dan Bentuk-bentuk Tawakkal

Hakikat dan Bentuk-bentuk Tawakkal


Di dalam sebuah hadits Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda,

“Seandainya kalian sungguh-sungguh bertawakkal kepada Allah, sungguh Allah akan memberi kalian rezeki sebagaimana Allah memberi rezeki kepada seekor burung yang pergi dalam keadaan lapar dan kembali dalam keadaan kenyang “ (HR. Imam Ahmad, Tirmidzi, Nasaai, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban, dan Al Hakim)
Pembaca yang berbahagia. Rezeki adalah fasilitas dan karunia dari Allah Subhanahu wa Ta'ala yang diberikan kepada siapapun yang hidup di atas muka bumi ini. Setiap mahluk tanggungan rezekinya adalah atas Allah Subhanahu wa Ta'ala. Tidak ada satupun mahluk yang hidup di atas muka bumi ini, kecuali Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menanggung rezekinya. Dan rezeki itu tidak diberikan kepada sesama mahluk atau dari sesama mahluk, tetapi Allah-lah yang memberikan kepadanya.

Di dalam al-Qur'an Allah Subhaanahu wa Ta'ala berfirman (yang artinya),

“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya...” (QS. Huud: 6)

Manusia adalah mahluk Allah yang termulia, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,

“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan” (QS. al-Israa: 70)

Jika semua jenis makhluk diberi oleh Allah karunia rezeki, maka manusia yang merupakan makhluk Allah termulia pasti mendapatkan perhatian lebih dari Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Kewajiban kita setiap manusia adalah berupaya  dan berusaha sungguh-sungguh  dengan tidak melupakan bahwa semua rezeki itu datang dari Allah. Lalu bersama dengan usaha dan upaya itu kita bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benarnya.

Pembaca yang kami muliakan, bertawakkal atau bersandar, menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah merupakan salah satu konsekuensi iman yang kita miliki. Salah satu tuntutan dari kalimat tauhid yang kita ucapkan. Di saat kita bersyahadat, berikrar dalam diri dan kehidupan kita “Asyhadu an laa ilaaha illallah” maka itu menuntut dari kita banyak konsekuensi, salah satunya adalah kita hanya menyandarkan dan menggantungkan hidup kita kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala semata. Kita mengakui bahwa hanya Allah sembahan kita,  bahwa hanya Allah satu-satunya yang kita ibadahi, maka demikian juga dalam aktivitas kehidupan kita dituntut untuk menyandarkannya semata-mata kepada-Nya. Itulah yang disebut dengan bertawakkal.

Bertawakkal di dalam kehidupan kita  diwujudkan dalam tiga bentuk:

1. Bertawakkal kepada Allah sebelum berusaha.


Sebelum melakukan suatu aktivitas   maka hendaknya kita pertama kali ingat kepada Allah. Di dalam al-Qur'an Allah berfirman (yang artinya), “... apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS. Ali Imran: 159)

Setelah perencanaan yang kita buat, setelah pengaturan yang kita sedemikian rupa atur dalam kehidupan ini, hari demi hari, waktu demi waktu, kita atur kehidupan kita maka pertama kali yang kita hendaknya lakukan setelah mengatur semua itu menyerahkan semuanya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Memohon inayah, memohon kekuatan dan memohon bantuan kepada Allah Subhaanahu wa Ta'ala agar kita bisa melaksanakan aktivitas tersebut dengan sebaik-baiknya. Inilah yang senantiasa kita baca dalam shalat kita, “Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in“, hanya kepada-Mu ya Allah kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan”, maka mintalah pertolongan hanya kepada Allah dalam segala kehidupan kita, utamanya sebelum kita melakukan suatu aktivitas.

2. Bertawakkal kepada Allah saat berusaha.


“...jika kamu beriman kepada Allah, maka bertawakkallah kepada-Nya saja, jika kamu benar-benar orang yang berserah diri.” (QS. Yunus: 84)
Jika kita betul-betul beriman kepada Allah maka diri dan usaha yang lakukan kita disandarkan hanya kepada Allah Subhaanahu wa Ta'ala sebab “Laa haula wa laa quwwata illa billah”, tidak ada daya sedikitpun yang kita miliki kecuali semuanya hanya datang dari Allah Subhaanahu wa Ta'ala.
Dalam ayat lain Allah berfirman (yang artinya), “Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Insaan: 30)
Maka bertawakkal kepada Allah dalam upaya yang kita lakukan adalah bersandar, berserah diri dan selalu bergantung kepada Allah Jalla wa 'Ala dalam aktivitas dan perbuatan kita.

3. Bertawakkal kepada Allah setelah berusaha.


Menyerahkan hasilnya hanya kepada Allah. Bersifat qana'ah, merasa cukup dari apa yang Allah berikan kepada kita. Tidak menyesali keadaan jika saja upaya yang kita lakukan ternyata tidak mendapatkan hasil sebagaimana yang kita inginkan. Sebab segala ketetapan hanyalah dari Allah Subhaanahu wa Ta'ala. Di dalam al-Qur'an Allah mengajarkan kepada kita bahwa setiap kita selesai melakukan suatu upaya, maka serahkan hasilnya kepada Allah Subhaanahu wa Ta'ala. 

Para petani yang sudah berupaya sejak awal membajak tanahnya, mencangkul tanahnya, membolak-balik tanahnya, menyemai bibitnya dengan baik kemudian diberi semprotan pestisida, dan seterusnya. Kata Allah Subhaanahu wa Ta'ala (yang artinya),
“Maka terangkanlah kepadaku tentang yang kamu tanam. Kamukah yang menumbuhkannya atau Kamikah yang menumbuhkannya? Kalau Kami kehendaki, benar-benar Kami jadikan dia hancur dan kering, maka jadilah kamu heran dan tercengang.” (QS. al-Waqi’ah: 63-65)
Kita hanya berupaya namun hasilnya adalah kehendak Allah Subhaanahu wa Ta'ala. Tapi bersama dengan upaya dan ikhtiar kita itu, kita berprasangka baik kepada Allah.

Allah akan memberikan kepada kita apa yang terbaik untuk kita dalam kehidupan kita ini. Bisa saja hasil yang Allah berikan itu tidak sesuai dengan harapan kita, tetapi justru itulah yang terbaik untuk kita. Dan bisa saja Allah memberikan kepada kita apa yang kita harapkan dan inginkan, tetapi justru bukan itu yang terbaik dalam kehidupan kita. Kata Allah dalam al-Qur'an (yang artinya), “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. ” (QS. al-Baqarah: 216)

Maka kita menjalankan apa yang diperintahkan kepada kita yakni berusaha, adapun segala hasilnya kembalikan kepada Allah bersama dengan husnudzhon atau prasangka baik bahwa pasti Allah akan berikan yang terbaik untuk kita dalam kehidupan ini. Sebab Allah 'Azza wa Jalla tidak akan mungkin menyia-nyiakan kita sebagai mahluk yang termulia dari seluruh mahluk, apalagi jika kita betul-betul menjalankan apa yang diperintahkan kepada kita dalam kaitannya kita sebagai hamba Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Ini sebagai wujud dan konsekuensi dari kita sebagai seorang muslim yang telah mengikrarkan kalimat syahadat. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),

“Katakanlah: sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)". (QS. al-An’am: 162-163)

Semoga Allah Subhaanahu wa Ta'ala menambahkan hidayah-Nya, menambahkan rezeki-Nya dan memberikan yang terbaik dalam kehidupan kita. Sehingga kita bisa melalui kehidupan ini dengan sebaik-baiknya dan datang menghadap kepada Allah pada kehidupan akhirat nanti dengan membawa amalan yang terbaik dan mendapatkan janji-janji yang Allah telah berikan buat hamba-hamba-Nya yang ta'at dalam kehidupan ini. Amiin.[]

Dimuat di Buletin al-Balagh Edisi 14 Tahun X 1436 H
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dibolehkan menyebarkan konten website ini tanpa perlu izin dengan tetap menyertakan sumbernya. Tim al-Balagh Media